Suaramahasiswa.info, Unisba- Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang akan berlaku mulai Rabu, (1/1/2025). Kebijakan ini menuai banyak kritik, terutama dari kalangan masyarakat dan mahasiswa, yang khawatir akan dampaknya terhadap kenaikan harga barang dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Mengutip dari Tempo.co, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan bahwa meskipun tarif PPN di Indonesia akan naik 12%, angka ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, tarif tersebut menjadi yang tertinggi di ASEAN, setara dengan Filipina.
Di sisi lain, setiap negara memiliki perbedaan dalam pendapatan rata-rata dan harga barang. Sehingga Indonesia tidak bisa dibandingkan apalagi dengan negara-negara maju terkait tarif PPN. Hal tersebut karena beberapa negara yang dibandingkan oleh Sri Mulyani memiliki daya beli bagus, ekonomi stabil, serta pendapatan per kapita yang lebih tinggi.
Berdasarkan analisis Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Jahen F. Rezki, kenaikan tarif PPN memberi beban lebih berat pada masyarakat miskin. Rezki mencatat, kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada 2022-2023 menambah beban rumah tangga miskin sebesar 0,71%, sementara rumah tangga kaya hanya 0,55%. Dengan tarif PPN yang naik menjadi 12%, diperkirakan beban rumah tangga miskin akan meningkat hingga 4,79%.
Padahal sebelumnya pemerintah menggunakan kenaikan pajak hanya akan berdampak pada barang premium. Ternyata beras premium yang biasa kita lihat di supermarket pun kena dampaknya, hingga kebutuhan yang dilabeli “premium” lainnya oleh pemerintah kecuali sembako.
Kenaikan tarif PPN ini berdampak signifikan pada mahasiswa, terutama terkait biaya hidup. Salah satunya adalah kenaikan harga sewa hunian, seperti kos dan apartemen yang kemungkinan akan dibebankan kepada penyewa. Banyak mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah, memiliki anggaran terbatas, sehingga kenaikan biaya sewa ini akan memperburuk kondisi keuangan mereka.
Selain itu, harga barang kebutuhan sehari-hari yang sering digunakan mahasiswa, seperti sabun, detergen, obat nyamuk, hingga pulsa, layanan internet, dan platform streaming juga akan ikut naik. Hal ini tentu dapat memengaruhi pengeluaran mereka dalam kegiatan belajar dan kehidupan sehari-hari.
Dampaknya daya beli masyarakat akan berkurang terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Mengingat konsumsi rumah tangga berkontribusi 55%-60% terhadap PDB, kenaikan harga dapat memperlambat pemulihan ekonomi dan menambah beban keluarga, terutama yang sudah tertekan dengan lonjakan harga kebutuhan pokok.
PPN, sebagai pajak yang dikenakan pada hampir seluruh transaksi barang dan jasa, menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sri Mulyani pun menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Meninjau dari beberapa kebijakan yang akan ditetapkan membuat rakyat kelas menengah kewalahan. Mulai dari iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dinaikin hingga iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan diwajibkan. Padahal jutaan kelas menengah sudah turun kelas sejak 2019.
Beberapa pihak bahkan mengajak masyarakat untuk melakukan boikot terhadap kebijakan pemerintah ini, dengan alasan bahwa kenaikan PPN hanya akan memperburuk kondisi sosial-ekonomi mereka. Terlebih, masyarakat khawatir bahwa dengan semakin mahalnya harga barang dan jasa, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi yang masih rapuh, pasca-pandemi COVID-19.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 diperkirakan akan memberi dampak signifikan, terutama bagi kalangan bawah dan mahasiswa dengan keterbatasan finansial. Meskipun bertujuan meningkatkan pendapatan negara untuk pembangunan, pemerintah harus memastikan kebijakan ini tidak memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Kebijakan mitigasi yang efektif, transparansi, dan akuntabilitas tinggi sangat penting untuk mencapai tujuan tanpa meningkatkan ketidakadilan sosial.
Penulis: Nurul Purnama/Job
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM