Ilustrasi kemiskinan yang disiarkan melalui poverty porn oleh media massa. (Ilustrasi: Fikri Fadilah/Job)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Dewasa ini kemiskinan menjadi komoditas yang dipertontonkan vulgar–bagaikan pornografi–untuk membangkitkan dan mendapatkan simpati khalayak umum. Poverty porn adalah sebutan untuk konten yang berbentuk audio visual atau tulisan yang sengaja menampilkan kemiskinan di dalamnya untuk berbagai kepentingan. Meski bisa menjadi hal baik, poverty porn juga rawan digunakan sebagai alat eksploitasi.
Rosniar dalam jurnalnya yang berjudul Poverty Porn: Komodifikasi dan Etika Media menjelaskan bahwa poverty porn lahir sejak tahun 80-an dan digunakan untuk menghasilkan keuntungan, seperti menarik empati, kontribusi, maupun sumbangan dari para penontonnya. Dengan begitu, konten yang ditampilkan pun dibuat secara sensasional mengenai penderitaan seseorang.
Perkembangan media sosial pun semakin memperluas penggunaan poverty porn di berbagai Platform. Seperti konten yang ditayangkan dalam salah satu akun youtube saat menyorot ekspresi seorang tunawisma yang menangis karena diberi hadiah. Tayangan tersebut seolah memfokuskan pada penderitaan seseorang yang menjadi objek dan dijadikan sebagai alat untuk membangkitkan rasa simpati penonton agar berdonasi kepada orang tersebut.
Selain berupa konten video, dalam pemberitaan sebuah media mengenai anak dari keluarga menengah kebawah yang berhasil masuk perguruan tinggi semakin menebalkan stigma orang dengan kemiskinan. Berita tersebut seolah berfokus pada kemiskinan daripada menyorot akses pendidikan.
Namun, meskipun tujuannya untuk kemanusiaan, hal itu tetap melanggar etika dalam bermedia karena menampilkan hal-hal yang bersifat pribadi. Sebagaimana dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 1 ayat (24) menjelaskan bahwa dalam menayangkan konten di media sosial maupun televisi harus menjaga kehidupan pribadi seseorang dan tidak menampilkan sesuatu yang tidak berhubungan dengan kepentingan publik.
Nah, dalam konten yang ditampilkan dalam poverty porn, biasanya penayangannya lebih berfokus mempresentasikan penderitaan kemiskinan yang dialami subjek tanpa menjelaskan faktor struktural yang dihadapi. Seharusnya, konten tersebut juga memfokuskan pada kerja keras subjek dalam berjuang melawan kemiskinan.
Apabila terus dibiarkan, poverty porn bisa disalahgunakan. Sebagaimana dalam panduan pemberitaan kemiskinan yang dikeluarkan oleh Die Armutskonferenz, Ada empat aspek penting untuk menghasilkan pemberitaan yang tepat. Keempat aspek tersebut menekankan pada penjagaan hak privasi, pemberdayaan, dan framing yang tepat pada subjek yang diberitakan.
Pertama, dalam menyampaikan pemberitaan tentang kemiskinan seseorang, harus bertujuan untuk menggambarkan tentang kemiskinan sesuai dengan yang dialami oleh seseorang dan tidak disertai unsur diskriminasi atau mempermalukan orang tersebut. Sehingga, dalam pemberitaannya harus menyertai pandangan atau solusi atas kesulitan yang dihadapinya, seolah-olah mereka sebagai ahli dalam bidang tersebut.
Kedua, dalam mengambil gambar mengenai kemiskinan seseorang harus mengikuti apa yang mereka tampilkan di lapangan. Dengan kata lain menampilkan kemiskinan sebagaimana apa yang mereka alami dengan apa adanya.
Ketiga, bahasa yang digunakan harus membangun dan apa adanya sesuai dengan fakta. Selain itu, pemilihan katanya pun harus dipilah dengan baik tanpa merendahkan seseorang yang mengalami penderitaan.
Keempat, seluruh informasi yang disampaikan harus sesuai dengan fakta yang terjadi serta dengan data yang jelas. Dengan begitu para penonton yang menyaksikan pun bisa menerima dan memberikan pandangannya sendiri mengenai informasi yang sudah disampaikan.
Media atau konten kreator harus lebih peka dalam menyiarkan poverty porn. Adapun keempat poin tersebut dapat diterapkan ketika ingin menyiarkan kemiskinan untuk advokasi maupun motivasi. Meskipun begitu, media atau pihak yang akan mengangkat isu terkait kemiskinan harus berhati-hati agar tidak mengeksploitasi subjek yang diangkat.
Penulis: Nabil fadilah/Job
Infografik: Fikri Fadilah/Job
Editor: Melani Sri Intan/SM