Sosok Malcolm X seorang pejuang hak-hak kaum kulit hitam asal Amerika Serikat yang menemukan jalan hidupnya dalam Islam. (Ilustrasi: Muhammad Irfan/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Keberagaman ras di dunia memang kerap menjadi pemicu pertikaian antar kelompok. Dari banyak kisah klasik yang menyoal rasisme, perlawanan atas dendam Malcolm X menjadi salah satu yang mesti direnungkan.
Menjadi minoritas memang tidak pernah mudah bagi pria kelahiran 19 Mei 1925 ini. Ia tumbuh dari keluarga kristen protestan yang tidak memiliki riwayat pendidikan, dan kurang mampu secara finansial. Sejak kecil hidupnya penuh dengan keterbatasan dan perlakuan tidak adil oleh kelompok kulit putih di Amerika Serikat (AS).
Pada 1926, ia harus kehilangan sosok ayah yang tewas di trem listrik pusat kota Michigan. Peristiwa ini sangat melukai hatinya, sebab polisi akhirnya menyatakan bahwa Earl Little bunuh diri. Padahal seorang saksi mengatakan Earl didorong ke trem listrik. Itulah mengapa ia dan keluarganya tetap yakin kasus ini adalah pembunuhan.
Setelah kematian ayahnya, kondisi ekonomi keluarga menjadi semakin terpuruk. Kondisi ini berjalan selama dua belas tahun, hingga ibunya mengalami depresi berat dan dimasukan ke rumah sakit jiwa pada tahun 1938.
Seperti anak pada umumnya, hari-hari Malcolm pergi ke sekolah dan mengumpulkan mimpi-mimpi. Sayangnya, mimpinya justru dipandang sebelah mata oleh gurunya karena menganggap menjadi pengacara adalah tidak realistis bagi seorang kulit hitam. Menurutnya, Malcolm lebih cocok menjadi tukang kayu.
Malcolm akhirnya berhenti di Sekolah Menengah Pertama dan bertahan hidup dengan menjalankan bisnis obat bius serta melakukan berbagai pencurian. Gelapnya kehidupan membuat ia berakhir dipenjara pada tahun 1946 atas tuduhan pencurian.
Penjara merupakan tempat pertemuannya dengan organisasi Nation of Islam (NoI), organisasi yang dikenal radikal dalam melakukan perlawanan kepada kaum kulit putih. Saking radikalnya Nol selalu menolak segala bentuk bantuan dari mereka. Setelah tujuh tahun di penjara lelaki bertubuh tinggi itu memutuskan menjadi mualaf.
Tiga tahun setelahnya ia keluar dari penjara, berbagai perlawanan pun dimulai. Seperti saat Hinton Johnson, salah satu pengikut Nol yang tulang tengkoraknya diremukkan oleh polisi karena kontra terhadap kritik dari kelompok kulit putih. Malcolm dan kawan-kawannya mengepung kantor polisi sampai Hinton dilepaskan dan mendapatkan perawatan medis.
Selain aksi melawan kaum kulit putih, ia juga terkenal dengan pidatonya tentang anti kulit putih yang kontroversial serta provokatif. Lelaki ini selalu blak-blakan melawan dengan menyatakan “orang kulit putih adalah iblis”. NoI membawa Malcolm semakin dikenal di AS sebagai tokoh radikal bagi orang kulit putih.
Disisi lain, sikap perlawanan ini justru tidak ubahnya dengan orang kulit putih yang diskriminatif. Malcolm masih hidup dalam bayang-bayang pengalaman buruknya atas diskriminasi, dan pengaruh kuat Nol yang begitu membenci orang kulit putih.
Setelah menyadari sikap dan organisasinya selama ini tidak toleran, ia pun akhirnya memutuskan untuk keluar. Selanjutnya Malcolm melakukan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, di sana dirinya menemukan orang-orang dari pelbagai bangsa, ras, dan warna kulit berbaur tanpa pandang bulu.
Dalam perjalanan spiritualnya tersebut, Malcolm menemukan jika Islam tidak mengajarkan perlawanan yang membabi buta pada diskriminasi ras. Menurutnya Islam melarang kita memandang perbedaan warna kulit dalam masyarakat. “Sepanjang perjalanan saya di dunia Muslim, saya telah bertemu, berbicara, dan bahkan makan dengan orang-orang yang di Amerika akan dianggap putih, tetapi sikap putih itu dihapus dari pikiran mereka oleh agama Islam,” tutur Malcom dalam otobiografinya.
Penulis: Melani Sri Intan
Editor: Tsabit Aqdam Fidzikrillah