
(sumber: kediripedia.com)
Suaramahasiswa.Info, Unisba– Peristiwa Malapetaka 15 Januari atau biasa dikenal Malari menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar Hak Asasi Manusia dengan melakukan represifitas terhadap mahasiswa. Tragedi pun terjadi hingga berakibat pada pupusnya nyawa sejumlah 11 orang, 137 orang luka-luka, serta 750 orang ditangkap.
1970-1973: Munculnya Ketidakpuasan dan Kembali ke Radikalisme
Ihwal ini berawal pada 1970, pemerintah dihujani kritikan keras dari mahasiswa serta masyarakat soal perekonomian yang merosot, besarnya utang negara, korupsi, hingga ketergantungan negara terhadap modal asing. Kala itu Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI) memutuskan untuk menggelar aksi demonstrasi dengan tajuk “Mahasiswa Menggugat”.
Selama berjalannya gerakan “Mahasiswa Menggugat” ini, aksi pun diiringi oleh tulisan terbitan media alternatif yang berusaha memantik api semangat mahasiswa. Bahkan surat kabar “Indonesia Raya” dan “Mahasiswa Bandung” menyatakan bahwa tahun tersebut sebagai “tahun ketidakpuasan”.
Selanjutnya pada 1972-1973, Tien Soeharto menyatakan ingin membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) padahal kondisi keuangan sedang buruk. Keinginan ini dianggap tidak pro kebijakan pemerintah dan tidak mengerti keadaan negara.
Tidak hanya itu, keadaan pun semakin memanas dengan munculnya pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang menghabiskan anggaran hingga 2 Milyar. Lalu, sambutan istimewa yang diberikan oleh Gubernur Sulawesi kepada Dharma Wanita yang anggarannya dikatakan dapat membangun sebuah rumah sakit.
1974: Puncak Peristiwa Malari
Berlanjut, pada Senin, (14/1) 1974 para demonstran menghampiri Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk menyambut Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, sebagai bentuk protes terhadap modal asing Jepang yang dianggap terlalu serakah menguasai perekonomian Indonesia saat itu. Kedatangan PM Jepang tersebut diketahui banyak orang setelah diberitakan oleh salah satu surat kabar.
Puncaknya, pada 15 Januari 1974 ketika mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk melakukan aksi di Pasar Senen, Jakarta. Tuntutan yang dilayangkan mahasiswa kala itu mulai dari, pembubaran Asisten Pribadi (ASPRI) Presiden Soeharto yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Humardani yang dianggap telah terlalu jauh mencampuri tugas-tugas pemerintahan secara langsung. Lalu, turunkan harga dan yang terakhir, berantas korupsi. Ketiga tuntutan ini dinamakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) Baru 1974.
Media Pers dalam Peristiwa Malari
Dalam penegakan demokrasi, salah satu surat kabar yang bersikap kritis pada permasalahan yang terjadi yaitu surat kabar “Mahasiswa Indonesia”. Namun, hal ini pula menjadi tonggak keredupannya di media massa karena surat izin yang dicabut setelah terjadinya peristiwa Malari.
Sebelum surat izinnya dicabut, surat kabar ini mengalami peningkatan jumlah cetakan yaitu di tahun 1966 sebanyak 10.000 eksemplar, tahun 1968 naik ke 15.000 eksemplar, dan mencapai puncak di tahun 1972 dengan 19.000 eksemplar. Namun, pemerintah berupaya membungkam surat kabar ini hingga pada akhirnya penerbitan dihentikan.
Selain itu, sebanyak dua belas media dibredel pemerintah pasca peristiwa ini yang meliputi Harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Abadi, Nusantara, Mingguan Senang, The Jakarta Times, Pemuda Indonesia, Pedoman, Majalah Berita Mingguan Ekspres, Seluruh Berita (Surabaya), Indonesia Pos (Ujung Pandang), Sinar Harapan dan Mahasiswa Indonesia. Bahkan, semua pers ini dicabut surat izin cetak dan surat izin terbitnya oleh pemerintah.
Banyaknya media yang dibredel, sepuluh diantaranya tidak bisa mendapat izin terbitnya kembali, meskipun kejadian Malari sudah lama usai. Sedangkan beberapa media massa ada yang diizinkan untuk terbit kembali karena telah melakukan serangkaian perbaikan mulai dari pemecatan staf serta melakukan permintaan maaf terhadap pemerintah seperti Pelita (menggantikan Abadi) dan juga The Indonesian Times (menggantikan The Jakarta Times).
Setelah adanya peristiwa Malari, pemerintah mulai gencar memantau serta menekan pers. Bahkan mereka sampai mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Diatur di dalamnya bahwa pers harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pers pun dituntut sejalan dengan kebijakan pemerintahan.
Maka, dengan dikeluarkannya UU ini, segala penerbitan pers menjadi tidak leluasa karena diawasi oleh Departemen Penerangan. Pers seakan-akan hanya dijadikan alat karena dipaksa untuk memberitakan hal yang baik saja serta mempertahankan kekuasaan petinggi orde baru.
Nah, dengan melihat fenomena tersebut, pengekangan pemerintah terhadap pers akan mengancam berjalannya fungsi pers yang sesungguhnya, yaitu mengawasi kinerja pemerintah dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Tuntutan terhadap pers semakin beragam, bila ditambah dengan pembatasan ekspresi maka posisi pers akan semakin rapuh.
Penulis: Violetta Kahyang Lestari Fauzi/Job
Editor: Sopia Nopita/SM