
Ilustrasi generasi sandwich sebagai dampak dari ungkapan "Banyak anak, banyak rezeki". (Ilustrasi: Vanyssa Mutya Anggraeni/SM).
Suaramahasiswa.Info, Unisba– Sebagian besar masyarakat Indonesia, memercayai ungkapan “Banyak Anak, Banyak Rezeki”. Ungkapan lama ini sekarang dihadapkan pada realita modern yang penuh tantangan. Di tengah perubahan zaman, apakah memiliki banyak anak masih menjadi jaminan kesejahteraan atau justru beban yang berat?
Fenomena ini bermula sejak 1830-1870, saat Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang berdampak pada tingginya angka demografis. Konon, para petani ingin beban pajak yang dibebankan padanya berupa tenaga kerja dapat dibagi dengan mempunyai banyak anak.
Selain itu, ungkapan ini pernah disinggung pula oleh Presiden Indonesia pertama, yakni Soekarno saat bercengkrama dengan Duta Besar Amerika Serikat, Howard Palfrey Jones. Dalam percakapan yang Jones abadikan dalam bukunya berjudul Indonesia the Possible Dreams, bahwa ia merasa beruntung karena mempunyai seorang putri yang cantik juga dua cucu yang lucu.
Lalu, Soekarno menanggapi cerita Jones itu dengan candaan. “Kau tentu bukan orang Indonesia,” kata Soekarno. “Orang Indonesia berkembang biak seperti kelinci. Sepuluh, dua belas, empat belas anak. Ini adalah biasa dan kami memiliki negara yang besar”.
Soekarno pun menginginkan agar setiap keluarga di Indonesia beranak pinak dalam jumlah banyak. Menurutnya, kekayaan negara Indonesia sanggup mencukupi kebutuhan pangan 250 juta orang penduduk. Hal ini pernah disampaikannya kepada mahasiswa saat berada di depan Istana Negara pada Selasa, (9/7/1963).
Anggapan banyak anak banyak rezeki memandang anak sebagai investasi masa depan bagi orang tua. Di sisi lain, tak jarang orang tua di Indonesia meyakini bahwa anak memiliki kewajiban untuk mendukung mereka di masa tua sebagai bentuk “terima kasih” telah dibesarkan dengan iming-iming berbakti.
Namun, nyatanya hal ini malah membebani sang anak karena harus membiayai dirinya sendiri maupun keluarganya. Dengan kata lain, ekspektasi bahwa anak akan menjadi penopang di masa tua justru menciptakan beban psikologis dan finansial bagi generasi muda. Generasi tersebut biasa disebut sebagai generasi sandwich.
Seperti isian sandwich yang berada di antara dua lapisan roti, generasi sandwich berada dalam situasi terhimpit antara tekanan keluarga dengan kehidupan pribadi. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Dorothy A. Miller dalam bukunya Social Work pada tahun 1981.
Berdasarkan laporan survei CNBC Indonesia, 48,7% penduduk usia produktif (25-45 tahun) di seluruh Indonesia, termasuk dalam generasi sandwich yang memiliki tanggungan finansial atas keluarganya. Bahkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 juga menunjukkan bahwa 44,6% masyarakat Indonesia bergantung pada kelompok usia produktif.
Ketika seseorang melakukan aktivitas seperti bekerja, mengurus keluarga, atau bersosialisasi, mereka sebenarnya sedang menjalankan sebuah peran. Namun, pelaksanaan peran ini dapat terganggu apabila ada hambatan, seperti melakukan peran ganda.
Gangguan semacam ini dikenal sebagai konflik peran dan dapat memengaruhi perilaku individu, termasuk perilaku dalam hubungan pernikahan, melalui tekanan pribadi, depresi, dan kecemasan. Tekanan-tekanan ini juga berpotensi memicu berbagai perilaku negatif dalam keluarga.
Dalam hal ini, Generasi sandwich kerap menghadapi konflik peran, mengingat tanggung jawab yang mereka emban tidak hanya terbatas pada mencari nafkah untuk keluarga. Mereka juga dituntut untuk memenuhi berbagai kebutuhan lainnya, seperti memberikan dukungan emosional, kasih sayang, interaksi sosial, hingga bantuan finansial kepada anggota keluarga dari dua hingga tiga generasi yang tinggal bersama dalam satu rumah.
Sehingga kondisi ini membuat generasi sandwich rentan menghadapi berbagai masalah kesehatan mental. Di antaranya seperti rasa sedih, rasa bersalah, emosi yang tidak stabil, stres, burnout, kecemasan, depresi, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.
Hal tersebut membuktikan bahwa ungkapan “Banyak anak, banyak rezeki” sudah tidak relevan di masa kini. Maka untuk memutus rantai generasi sandwich dapat dicegah sedari dini seperti menghindari perilaku konsumtif. Perilaku ini dapat memengaruhi keuangan jangka panjang bagi calon orang tua sehingga ketika bila keuangan sudah stabil, orang tua tidak akan bergantung pada anak.
Selanjutnya bila keadaan keuangan keluarga mendesak, seorang anak dapat berusaha berbicara kepada keluarga terdekat lebih dulu. Walaupun untuk sebagian orang membicarakan soal keuangan ke anggota keluarga mungkin tidak biasa karena takut berakhir canggung. Tapi hal ini diperlukan agar tidak memberatkan dan terus menjadi generasi sandwich.
Keempat, menyiapkan program pensiun. Tahap ini adalah hal terpenting untuk memutus generasi sandwich. Jika rutin menginvestasikan penghasilan untuk dana pensiun, maka ketika pensiun tidak akan membebani anak-anak yang sudah beranjak dewasa.
Memiliki anak memanglah rezeki, namun menjadikan anak sebagai penunjang kehidupan di masa tua bukanlah hal yang baik bagi keluarga. Perubahan dimulai dari diri sendiri. Kita perlu mengubah pandangan tentang peran anak dalam keluarga. Anak bukan sekadar investasi masa depan, melainkan individu yang berhak atas masa depan yang cerah.
Penulis: Lies Ghaida Rifayani/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM