
Ilustrasi orang-orang bergandengan tangan, kursi kosong, tali menggantung, dan awan beserta petir yang menyimbolkan orang-orang yang saling melindungi agar tidak memikirkan untuk bunuh diri. (Ilustrasi: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM)
Peringatan: Tulisan ini mengandung unsur kekerasan yang dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan. Berhentilah sejenak jika pembaca merasa tidak nyaman, hubungi layanan konseling psikologis jika kondisi tersebut sekiranya dapat membahayakan diri.
Suaramahasiswa.info, Unisba– Fenomena bunuh diri, terus menjadi sorotan di tengah kompleksnya tekanan hidup. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari masalah kesehatan mental, tekanan ekonomi, hingga kurangnya dukungan sosial.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) sekaligus Psikolog Unit Layanan Psikologi Terpadu (ULPT) Unisba, Stephani Raihana Hamdan, mengatakan bahwa manusia tidak memiliki naluri untuk mengakhiri hidupnya melainkan menyelamatkan diri. “Secara psikologis, kondisi asli manusia itu tidak memiliki insting ingin mematikan diri, justru ingin menyelamatkan diri.” Katanya kepada Tribunjabar.id pada Rabu, (29/11/2023).
Menurutnya, keinginan bunuh diri pada seseorang tidak sepenuhnya didasarkan untuk mengakhiri hidup. Namun, hal tersebut lebih dipicu oleh perasaan frustasi yang mendalam serta pengaruh dari faktor budaya.
Kasus bunuh diri di berbagai kalangan usia menjadi masalah kompleks pun memerlukan pendekatan yang holistik. Penyebabnya, yakni tekanan akademik, ekspektasi sosial, gangguan mental berupa depresi dan kecemasan. Selain itu, adanya beban finansial dan permasalahan interpersonal yang menyebabkan kesedihan mendalam juga menjadi penyebab seseorang melakukan tindakan tersebut.
Bunuh diri di kalangan mahasiswa menjadi fenomena yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Di balik gambaran cerahnya dunia perkuliahan, tersembunyi realitas suram berupa kepedihan emosional yang dialami sebagian mahasiswa. Fenomena ini menunjukkan penderitaan tak terlihat di balik senyuman serta keberhasilan akademis mereka.
Contohnya, kasus dugaan bunuh diri mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang ditemukan tewas di Gedung Gymnasium pada Desember 2024. Sebelumnya, korban sempat adu mulut dengan sang mantan kekasih. Meskipun dugaan awal menyebutkan bunuh diri, pihak kepolisian masih menyelidiki kemungkinan penyebab kematiannya.
Contoh lainnya, yaitu kasus bunuh diri mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) di kamar indekos nya. Korban mengakhiri hidup dengan gantung diri, diduga karena tekanan dari utang pinjaman online yang menjeratnya. Adapun surat wasiat yang ditemukan menyiratkan perasaan putus asa serta kesedihan yang mendalam.
Upaya pencegahan bunuh diri di kalangan mahasiswa perlu melibatkan dukungan emosional, khususnya di lingkungan pendidikan. Langkah pertama menyikapi teman yang ingin bunuh diri dengan mendengarkan secara empati serta memberi ruang untuk berbicara tanpa interupsi juga menghakimi. Lalu, memvalidasi perasaan mereka, dan menghargai keberaniannya untuk berbicara.
Selain itu, ajukan pertanyaan yang tepat untuk membantu mengekspresikan perasaan lebih dalam, namun tetap prioritaskan keselamatannya, bahkan jika harus melibatkan pihak lain. Pencegahan lainnya berupa penelitian dan pemantauan secara berkala untuk memahami kecenderungan bunuh diri, faktor risiko, serta mengevaluasi efektivitas program pencegahan.
Fenomena bunuh diri terus menjadi masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kesehatan mental hingga kurangnya dukungan sosial. Perlunya pendekatan holistik supaya faktor-faktor tersebut dapat diatasi secara menyeluruh.
Penulis: Muhamad Raenaldi Wahab/Job
Editor: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM