Foto: Dokumentasi Suara Mahasiswa
Oleh: Muhammad R. Iskandar*
Bandung, 1 November 2016
Mahasiswa Unisba yang hits,
“Perjuangan mahasiswa bukan sekedar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakan keadilan dan kejujuran. Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya,” -Soe Hok Gie, 13 Januari 1966.
Buah pikir Gie di atas mungkin saja tidak relevan untuk zaman ini karena begitu rumitnya pola sosial pelajar sekarang. Namun, secara pribadi ada makna kolektivitas dalam untaian kata ‘sang legenda’.
Kita memang sudah lama tidak mengenal istilah “kolektif” di kampus biru. Yang kita kenal tidak jauh dari memasuki ruang kuliah, tertidur di dalamnya, menganggap Organisasi Mahasiswa (Ormawa) adalah sarana cuci otak, kelabakan mencari judul penelitian, hingga menjilat pantat untuk mendapat perkerjaan. Kegitan dalam kampus tidak lagi seksi untuk generasiku yang dibunuh pragmatis.
Dalam setiap diskusi kecil yang penulis ikuti, lagi dan lagi kehadiran gawai menjadi tersangka dari sederet dosa keantipatian para mahasiswa. Diperparah dengan membandingkan resistensi teknologi di angkatan 66 yang tumbuh di masa mass murder, 77 di masa Orde Baru (Orba), 98 di pintu reformasi. Padahal kehadiran gawai memiliki dampak pada gaya santun pergerakan kita.
Sebagaimana generasi mass media, kekeritisan kita acapkali terbangun saat kepentingan pribadi kita diserempet kepentingan pribadi lainnya. Debat berjam-jam pun akan diladeni saat hal ini terjadi. Namun sayang, ketika kepentingan bersama atau lebaynya; kepentingan rakyat yang terserempet, mungkin hanya yang punya hati mau berkeluh-kesah.
Caranya pun tertebak, baik dengan mengeluh di dunia maya, mengandalkan tagar untuk sarana viralisasi.
Lucunya mayoritas keresahaan yang ditulis hanya berkutat permasalahan pribadi. Misal saat si pengeluh tidak mendapatkan kursi di ruang kelas, saat sipengeluh dibuat sedikit bingung dengan pelayanan kampus, hingga saat si pengeluh tidak kebagian parkir di kampusnya sendiri. Lagi-lagi tema besarnya terasa bergitu egois.
Atau baiknya kita tengok tema-tema kolektif yang terlupakan oleh generasi ku tercinta.
Baru-baru ini penulis dapati sebuah kabar di mana Presiden Mahasiswa (Presma) dan Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) Universitas Islam Bandung (Unisba) dipilih dengan alasan aklamasi. Alsannya terasa bias; Disiplin Waktu. Terindikasi sebuah kelelahan sang penyelenggara pemilihan umum untuk menunggu maupun mencari bakal calon pemimpin mahasiswa selanjutnya. Indikasi lainnya adalah bentuk kegagalan dari organisasi intra maupun eksra untuk menelurkan calon-calon pemimpin.
Sebetulnya saat pemilihan pemimpin, baik level Universitas maupun Fakultas di Unisba selama ini tidak jauh berbeda dengan langkah aklamasi sebagaimana sekarang. Tengok saja, di setiap Pemilu Raya, jumlah suara yang dihimpun lagi-lagi tidak mencapai 50 persen dari jumlah pemilih. Hal ini sama saja dengan sebagaian besar mahasiswa lainnya tidak merasa perlu-perlu amat untuk memilih. (Kembali) indikasinya; ada maupun tidak ada pemimpin tidak memberikan kontribusi besar untuk khalayak Unisba—semoga prediksi penulis salah.
Sebelumnya, penulis pernah merasakan masa di mana kedudukan Mahasiswa Unisba 1, harus ditunda berbulan-bulan demi menghindari aklamasi. Hal ini mengacu pada bahaya laten aklamasi sesungguahnya. Proses pemilihan ini tentu mewajarkan sikap anti politik di sebagian besar penduduk kampus. Dengan seperti ini sangat minim sekali pelajaran politik yang mampu diserap tiap mahasiswa Unisba.
Di sisi lain, aklamasi pun tidak memberikan efek emosional di hati para pemilih untuk meluruskan jalan pemimpin ketika buntu maupun menyalahgunakan jabatan. Dengan kata lain, kamu-kamu yang udah antipati, makin punya alasan kuat untuk antipati. Sehingga kamu-kamu pun tidak terbiasa dengan kehidupan berpolitik, mudah tersinggung saat beda pendapat, dan payah mengeluarkan argumen rasional.
Keantipatian ini memang sudah terasa disejumlah lini masyarakat Unisba, tengoklah bagaimana membelotnya Bada Pekerja Pemilihan Umum (BPPU) Fakutas Ilmu Komunikasi (Fikom) yang melenceng dari Peraturan Dasar Peraturan Rumah Tangga (PDPRT) Keluarga Besar Mahasiswa Unisba. Di sisi lain memang patut di cap inovatif untuk gaya pemilihan ketua Dewan Amanat Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, namun sayang inovasi ini tidak dikomunikasikan kepada induknya. “Sungguh tidak mencerminkan tabiat mahasiswa komunikasi,” ucap seorang teman. Saat ancaman dikeluarkannya elemen Fikom dari KBMU, lagi-lagi keantipatian begitu kental terasa.
Coba bayangkan, jikalau Anda berkuliah di Unisba, namun bukan bagian dari Keluarga Besar Mahasiswa Unisba?
Kembali dipermasalahkan Keantipatian kita, mahasiswa. Sebagai motor dari gerakan tri darma perguruan tinggi, mahasiswa pun turut mengemban beban, penelitian, pengembangan, dan pengabdian pada masyarakat. Jangan dulu berbicara masyakat luas, jikalau masarakat kampus pun tidak bersedia untuk kita jadikan objek pengabdian.
Keterlibatan untuk memilih pemimpin adalah secuil bentuk pengabdian kita, mahasiswa untuk almamaternya. Berbicara lebih melebar, adakah sedikit pengabdian mahasiswa Unisba untuk warga Kelurahan Tamansari (selain memberikan pemasukan lewat uang indekost) yang notabene adalah elemen dari masyarakat Unisba?
Sebenarnya ingin betul penulis berbicara lebih melebar ketingkat permasalahan nasional. Sebagaimana kita tahu kisruh penistaan agama yang tercampur nuansa Pilkada. Apakah kita, mahasiswa Unisba mampu menjadi mediator objektif permasalahan sarat kepentingan seperti ini? “Kalau rakyat terlalu melarat, mereka akan bergerak sendiri. Kalau ini terjadi, akan terjadi chaos,” ucap Gie. Nampaknya memang akan terjadi bila mahasiswa terlalu sibuk dengan pencapaian pribadi, sehingga tidak mengambil peran central dalam masyarakat.
Bila benar terbukti nihil pula jawaban untuk perkara ke-kolektif-an pengabdian di lingkup masyarakat—terkecil sekalipun- izinkan penulis bertanya; Apakah sebegitu sucinya ilmu pengetahuan kita di Unisba, hingga menjadikan mereka yang malang karena nirpendidikan tidak berhak merasakan faedah ilmu kita? Apakah ilmu kita hanya diperuntukan untuk bekal kelak mengais rezeki lambung pribadi, tanpa memperdulikan asam-asam lambung yang naik keleher insan-insan tak bergajih?
Dan jika memang benar begitu, baiknya kita tundukan kepala. Tanda malu pada sejarah yang kelak akan mencatat; Mahasiswa di rentang awal abad 21 bermental seperti ini dan terbukti tanpa kontribusi untuk negaranya sendiri.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi 2012