
Perjuangan buruh perempuan. (Ilustrasi: Syifa Khoirunnisa/SM).
Suaramahasiswa.info–“Kerja kita masih sering disalahpahami tidak hanya oleh lawan kita, akan tetapi juga oleh kawan kita sendiri.” Pidato Clara Zetkin di Kongres Keempat Komintern pada November 1922 dalam Buku Catatan Perempuan Revolusioner.
Di tengah kampanye kesetaraan gender yang meluas dan peningkatan posisi perempuan di ruang publik, buruh perempuan justru masih terjebak dalam rantai eksploitasi. Mulai dari upah murah, jam kerja panjang, pelecehan seksual, dan beban ganda lain yang tak kunjung diakui negara.
Clara Zetkin, seorang tokoh feminis sosialis abad ke-20, telah mengingatkan sejak awal bahwa emansipasi perempuan tidak akan tercapai tanpa adanya pembebasan kelas pekerja. Bahkan seratus tahun setelah seluruh gagasannya disuarakan, warisan pemikiran Zetkin justru terasa semakin relevan.
Di mana posisi perempuan dalam arus besar feminisme hari ini? Apakah negara sungguh hadir untuk mereka?
Zetkin menolak perjuangan gender yang melupakan akar kelas. Ia berpendapat bahwa feminis borjuis dan gerakan perempuan proletariat adalah dua gerakan yang berbeda.
Feminis borjuis menuntut kesetaraan perempuan dan laki-laki hanya dari golongan mereka sendiri tanpa mempedulikan perempuan pekerja. Terbukti dari buruh perempuan yang tetap menjadi korban sistem, meski ada perempuan yang menjadi menteri atau CEO.
Adalah sebuah kegagalan bagi feminisme bila masih ada anggapan bahwa kesetaraan hanya dilihat dari penempatan perempuan di kursi pemerintahan. Politisi perempuan juga bisa menjadi pencipta kebijakan yang tak berpihak pada kepentingan rakyat khususnya perempuan.
Berdiri di Simpang Ketidakadilan Ras, Kelas, dan Gender
Perbudakan modern terhadap pekerja perempuan terjadi lebih kompleks di era globalisasi. Kondisi tersebut digambarkan oleh Barbara Ehrenreich dalam Buku Global Woman: Nannies, Maids, and Sex Workers in the New Economy. Salah satu catatan pentingnya yaitu eksploitasi pekerja perempuan migran yang menggantikan posisi ibu kandung di negara maju.
Perbudakan yang terjadi saat cinta dan tenaga emosional perempuan menjadi bagian dari ekonomi global. Sudah tertimpa kemiskinan karena sistem ekonomi–tertindas pula oleh struktur patriarki.
Kerja domestik seperti memasak, mencuci, dan merawat anak malah tak dihitung dalam statistik ekonomi resmi apalagi diberi nilai. Hal ini kemudian menjadi kritik keras terhadap feminisme arus utama yang acap kali mengabaikan suara perempuan kelas bawah dan migran.
Perbudakan lain terwujud juga di balik kemajuan industri nikel di Morowali. Ada kisah tersembunyi buruh perempuan yang jarang diungkap. Dalam sektor-sektor tertentu, banyak perempuan dipekerjakan dengan alasan lebih mudah diatur dan bersedia menerima upah yang kecil.
Bahkan setelah seharian bekerja, banyak di antara para pekerja perempuan ini masih harus menjalankan tugas rumah tangga. Menurut Presiden Families and Work Institute yaitu Dr. Ellen Galinsky bahwa perempuan yang menjalankan peran ganda, akan mengalami kelelahan yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Realitas pekerjaan perempuan hari ini menghadapi kesenjangan upah, beban ganda, outsourcing, dan pelecehan di tempat kerja. Buruh perempuan di sektor informal dan migran yang nyaris tanpa perlindungan negara. Zetkin akan menyebut ini sebagai “eksploitasi ganda”–gender dan kelas.
Upaya Pencerdasan Buruh ala Zetkin
Clara Zetkin melakukan pencerdasan dan pengorganisasian para pekerja perempuan agar turut serta dalam perjuangan kelas yang berujung pada pembebasan perempuan. Upaya yang dilakukan tersebut juga telah membuahkan hasil. Meskipun sampai hari ini perempuan masih terus berjuang, tapi Zetkin membuka jalan bagi mereka yang ingin berjuang atas nama perempuan.
Komisi Nasional Perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 2.702 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja. Data tersebut memperlihatkan perjuangan buruh harus menyertakan kesadaran gender dan sebaliknya.
Kini langkah perjuangan yang masih harus dijajaki yaitu dalam perjalanan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Selain itu, memastikan negara untuk mengakomodasi kebijakan bagi kaum buruh agar dapat bekerja tanpa diskriminasi dan perlindungan yang setara.
Mewarisi pemikiran Zetkin, artinya melanggengkan perjuangan pekerja perempuan yang tidak cukup hanya membicarakan jabatan elit. Lebih dari itu, ia mengingatkan kita bahwa emansipasi sejati lahir dari transformasi sistemik, bukan simbolik.
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Melani Sri Intan/SM