
Beberapa siswa sedang melaksanakan kegiatan belajar mengajar. (Foto: gosamarinda.com)
Suaramahasiswa, Unisba–Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap 2 Mei menjadi momen refleksi atas perjuangan Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pendidikan nasional. Pemikiran dan dedikasinya menegaskan bahwa pendidikan menjadi fondasi kemajuan bangsa meski hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan.
Oleh karena tantangan yang terjadi itu, membuat pemerintah mulai merancang kebijakan dengan penyelesaian yang lebih terstruktur. Namun, berbagai kebijakan pendidikan diterapkan cenderung tidak bertahan lama seiring pergantian kepemimpinan.
Salah satu bentuk perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia tampak pada sistem penjurusan di tingkat SMA. Pemerintah berencana mengembalikan sistem penjurusan di jenjang SMA pada tahun ajaran 2025–2026 setelah sebelumnya dihapus dalam Kurikulum Merdeka. Penjurusan ke dalam IPA, IPS, dan Bahasa ini dilakukan seiring dengan diterapkannya Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional.
Keputusan pengembalian sistem penjurusan di SMA mencerminkan dinamika kebijakan pendidikan yang terus berubah seiring pergantian kepemimpinan. Saat kebijakan yang sebelumnya dihapus secara bertahap sejak 2021 kini kembali diberlakukan dengan dalih keberlanjutan pendidikan dan masa depan siswa.
Seolah-olah setiap mengganti kepemimpinan, kebijakan juga ikut diubahnya. Hal ini menimbulkan sentimen negatif karena seakan perubahan kebijakan tidak didasarkan pada kebutuhan fundamental, melainkan egoisme kepemimpinan.
Perubahan kebijakan tanpa arah yang konsisten justru dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian bagi pelajar, tenaga pengajar, hingga sistem pendidikan secara keseluruhan. Seluruh elemen pendidikan menjadi terganggu karena kebijakan yang belum tentu relevan dengan kebutuhan di lapangan. Mereka harus terus menyesuaikan diri tanpa kesempatan membentuk dasar yang kuat.
Terlebih lagi kini terjadi ketidakpastian sistem Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Dalam hal ini, para pengajar menjadi pihak yang paling terdampak karena harus menyesuaikan dengan metode pembelajaran dari kurikulum yang belum sepenuhnya matang.
Selain itu, ketimpangan kualitas antara sekolah dan tenaga pendidik di berbagai wilayah turut memperlebar ketidakmerataan pendidikan. Kebijakan yang dirumuskan secara terburu-buru dan bersifat eksklusif sering kali tidak mencerminkan realitas di lapangan karena minimnya pelibatan pihak-pihak terkait.
Kecenderungan tersebut juga menjadikan kebijakan sebagai proyek jangka pendek demi kepentingan tertentu. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menopang pembangunan sistem pendidikan yang kuat dan berkelanjutan.
Ketidakselarasan kebijakan pendidikan di Indonesia memberikan dampak yang signifikan terhadap merosotnya mutu pendidikan nasional. Perubahan kebijakan yang tidak dibarengi dengan pemerataan kualitas pendidikan justru berisiko memperbesar kesenjangan antarwilayah.
Situasi ini semakin diperburuk oleh kebijakan efisiensi anggaran yang tidak tepat sasaran, seperti pemangkasan dana beasiswa dan pelatihan bagi tenaga pendidik. Dampaknya yaitu akses terhadap pendidikan menjadi semakin tidak merata dan kualitasnya pun makin jauh dari kata setara.
Melansir dari jurnal berjudul Problematika dan Perubahan Kebijakan Pendidikan di Indonesia kebijakan pendidikan menjadi faktor utama dalam mencapai keunggulan dan membuktikan eksistensi negara dalam menghadapi persaingan global. Sehingga penentuan kebijakan harus dilakukan lebih mendalam, kritis, dengan penelitian yang komprehensif.
Apabila inkonsistensi terus dibiarkan tanpa perbaikan, impian mewujudkan pendidikan yang baik dan bermutu hanya akan menjadi angan-angan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk melakukan evaluasi dan reformasi secara menyeluruh.
Kebijakan pendidikan seharusnya dirancang secara konsisten dan relevan dengan kondisi yang ada di lapangan–guna memastikan bahwa sistem pendidikan berjalan lebih stabil dan merata.
Penulis: Linda Puji Yanti/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM