
Ilustrasi beberapa orang dengan pekerjaannya masing-masing. (Ilustrasi: Siska Vania/SM).
Suaramahasiswa.info-Sistem ketenagakerjaan di Indonesia pada masa lampau memiliki karakteristik yang relatif serupa dengan sistem ketenagakerjaan yang berlaku saat ini. Pekerjaan yang seharusnya menyenangkan, merealisasikan diri, serta memberikan kepuasan justru menjadi ajang eksploitasi perusahaan.
Posisi buruh yang dianggap lemah dan tidak mempunyai daya tawar mumpuni membuat mereka bekerja dengan paksaan. Bahkan, peraturan pemerintah yang diharapkan menjadi penyeimbang, malah seakan berpihak pada golongan majikan.
Parahnya, generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa, malah terus-menerus dimanfaatkan perusahaan dengan dalih menyejahterakan. Banyak yang terjebak dalam sistem kerja fleksibel karena sebelum menjadi pekerja tetap mereka dituntut untuk menggali pengalaman salah satunya dengan magang yang bukan hanya minim jaminan, tapi juga menurunkan kepuasan kerja dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Bukan hanya itu, mereka juga tidak diberikan upah tapi hanya uang saku yang nilainya tidak diatur oleh standar upah minimum. Hal ini menciptakan kesan bahwa buruh magang bekerja secara sukarela untuk memperoleh sertifikat yang belum tentu menjamin manfaat nyata di dunia kerja.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 malah memberi peluang perusahaan mengeksploitasi tenaga magang dengan mempermudah melakukan pergantian setelah masa magang usai. Tak heran, banyak perusahaan memutus kontrak untuk menghindari kewajiban pengangkatan atau pemberian hak pekerja dan mengurangi tunjangan.
Selain itu, generasi muda juga terjebak dalam sistem outsourcing dan paruh waktu. Nah, pekerjaan ini, sering mendapatkan diskriminasi dari berbagai pihak mulai dari upah pokok rata-rata 17% yang upah totalnya mencapai 26% lebih rendah dibanding pekerja tetap.
Hal ini sangat merugikan buruh karena pengusaha dapat menekan biaya tanpa memberi jaminan hari tua, kesehatan, atau kesejahteraan. Pekerja juga akan mudah untuk di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Belum lagi adanya efisiensi perusahaan yang dapat membuat lapangan kerja semakin menyempit, pekerja muda sulit bersaing untuk masuk dalam white collar karena kalah dengan pekerja senior yang dianggap lebih berpengalaman, seperti mempunyai etos kerja, loyalitas kerja yang lebih tinggi, dan dianggap lebih stabil secara emosional serta lebih baik dalam memimpin. Ironisnya, buruh muda akan beralih ke pekerjaan blue collar dengan upah rendah dan minim perlindungan hukum.
Di sisi lain, teknologi yang semakin berkembang membuat pekerjaan semakin mudah untuk perusahaan yang memunculkan peluang baru. Namun sayangnya para pekerja menjadi teralihkan atau bahkan tergantikan.
Akibatnya tingkat pengangguran di kalangan generasi muda masih terbilang cukup tinggi meskipun mengalami penurunan. Dilihat pada tahun 2022 Indonesia masuk dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or training) sebanyak 23,22% dan tahun 2023 sekitar 22,5% atau 9,89 yang masuk dalam kategori NEET.
Banyaknya diskriminasi yang didapat oleh pekerja muda membuat pemerintah harus lebih memperhatikan lagi kebijakan yang diterapkannya. Hal ini untuk meminimalisir terjadinya lonjakan pengangguran muda.
Penulis: Siska Vania/SM
Editor: Sopia Nopita/SM