
Ilustrasi papan pengenal yang terletak di atas meja dan bertuliskan nama diikuti dengan gelar H. (Haji). (Ilustrasi: Adelia Nanda Maulana/SM
Suaramahasiswa.info,- Beberapa abad silam, ajaran Islam menyebar luas di Nusantara, berkembang dengan cepat seperti jamur di musim hujan. Bersamaan dengan itu, umat Muslim pun mulai melaksanakan ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam bagi yang mampu.
Kala itu, pemberangkatan haji masih menggunakan kapal layar yang membutuhkan waktu hingga belasan tahun. Bisa dikatakan, tidak sembarang orang punya kesempatan untuk menunaikan Ibadah tersebut.
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, Ibadah Haji dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dengan bantuan pemerintah yang mengatur pelaksanaannya. Setelah kembali ke Tanah Air, para jamaah biasanya mendapat gelar “Haji” di depan nama mereka, sehingga di lingkungan masyarakat sering disapa Pak Haji atau Bu Haji.
Awal Mula Gelar Haji di Indonesia
Menilik ke masa saat Indonesia dijajah oleh Kolonial Belanda, pemberian Gelar Haji ternyata digunakan sebagai media control kepada setiap orang yang telah pulang dari Makkah. Gelar ini mempermudah Pemerintah Kolonial untuk mengawasi perilaku dan tindakan para haji setelah kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan jurnal Dampak Ordonansi Kebijakan Haji Bagi Umat Islam di Hindia Belanda Tahun 1853-1896 yang ditulis oleh Muhammad Yusrul Hana, hal itu diatur pada Staatsblad 6 Juli 1859 No. 42 guna mencegah penyebaran gerakan perlawanan kepada Kolonial Belanda. Kebijakan ini dianggap sebagai solusi yang lebih baik dibandingkan harus menembak mati para jemaah haji.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat terhadap jemaah haji kala itu. Mereka dianggap mendapatkan pencerahan politik selama beribadah di Mekkah hingga kian berani melawan pemerintah kolonial. Bahkan, masyarakat Hindia Belanda menganggap jemaah haji sebagai sosok yang suci. Oleh sebab itu, pemerintah Hindia Belanda khawatir bila pengetahuan politik dan keberanian tersebut dapat mengganggu kestabilan politik saat itu.
Ternyata, pada 1664 pernah terjadi peristiwa oleh Kolonial Belanda melarang tiga orang Bugis yang baru saja kembali dari Ibadah Haji untuk mendarat dan membuang mereka ke Tanjung Harapan. Setiap kali ada umat Islam yang pulang dari Ibadah Haji, pemerintah Hindia Belanda selalu mengawasinya dengan sangat ketat.
Perkembangan Ordonansi Haji pada Pemerintah Kolonial
Selain memberikan gelar, pemerintah kolonial juga sering membatasi pelaksanaan Ibadah Haji melalui kebijakan yang dikenal sebagai politik haji, dengan mengatur peraturan atau ordonansi. Rentetan perubahan sikap Kolonial terhadap kebijakan haji, semuanya atas nasihat Snouck Hurgronje, seorang peneliti dan penasihat Pemerintah Kolonial Belanda.
Awalnya, ordonansi dibuat dengan aturan yang ketat untuk membatasi pengaruh jemaah haji terhadap perlawanan pribumi. Namun, setelah datangnya Snouck, ordonansi tersebut justru semakin terlihat mengakomodir kehendak umat Islam, khususnya dalam menjalankan ibadah secara murni.
Ordonansi Haji pertama kali muncul pada 18 Oktober 1825 lewat aturan nomor 9 yang menetapkan bahwa tiap jemaah haji harus membayar pass jalan sebanyak 110 gulden. Jika tidak membayar, mereka akan dikenai denda hingga 1000 gulden.
Bermain dengan aman, Pemerintah Kolonial dengan sengaja tak menyebarluaskan ordonansi ini untuk meminimalisir keributan atau gejolak sosial di kalangan masyarakat pribumi. Pada dasarnya, peraturan ini dibuat untuk membatasi jumlah jemaah haji atas ketidakmampuannya secara finansial untuk menunaikan ibadah tersebut.
Hal ini berlanjut ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-1856) bahwa ordonansi Haji sempat mengalami kelonggaran. Melalui Beslit 3 Mei 1852 Nomor 9, pemerintah masih mewajibkan pass jalan untuk masyarakat yang ingin berangkat haji, akan tetapi biaya dan denda tersebut telah dihapuskan.
Di sisi lain, calon haji belum sepenuhnya bebas. Mereka harus membuktikan kepada kepala daerah bahwa mereka memiliki uang untuk biaya perjalanan ke Mekkah pulang-pergi, serta untuk kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Setelah tiba di Indonesia, jemaah haji masih harus diuji oleh kepala daerah atau petugas serta diperkenankan memakai gelar dan pakaian haji bagi yang lulus ujian.
Terjadi penghapusan kembali pada peraturan 1902 Staatsblad 1902 No. 318 dan Staatsblad 1905 No. 288 tentang ujian, pemakaian gelar, dan pakaian haji. Snouck menyarankan, jemaah haji harus mempunyai tiket keberangkatan dan pulang yang dijadwalkan pemerintah. Sehingga, jemaah harus segera pulang ke Hindia Belanda setelah rangkaian ibadah selesai.
Buah pemikiran Snouck kemudian ditetapkan dalam peraturan Hindia Belanda tahun 1922 No.698. Ini mengatasi kemungkinan para jemaah haji dipengaruhi ide pergerakan para haji yang mukim di Mekkah.
Kelonggaran Pelaksanaan Ibadah Haji
Awalnya, ibadah haji diawasi dan diatur dengan sangat diperketat melalui politik haji, namun lama-kelamaan aturan tersebut menjadi lebih longgar. Pemerintah kolonial mulai mengadopsi pemahaman baru terkait ibadah haji.
Snouck meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu terlalu khawatir terhadap pengaruh para haji. Menurutnya, cara terbaik untuk menghambatnya secara halus, yakni dengan mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. Ia percaya, semakin pribumi mengenal dan mengikuti kebudayaan Hindia Belanda maka semakin kecil keinginan mereka untuk menunaikan ibadah haji.
Pada akhirnya, pemerintah kolonial beranggapan bahwa agama Islam menjadi penghalang kemajuan. Mereka percaya, peningkatan taraf hidup pribumi harus diimbangi dengan pendidikan dan budaya Barat. Oleh karena itu, pendidikan Barat diformulasikan sebagai alat untuk melemahkan pengaruh Islam di Hindia Belanda.
Agar asosiasi dan tujuan tersebut tercapai, pendidikan model Barat dibuka untuk rakyat pribumi. Pemerintah kolonial meyakini bahwa penetrasi pendidikan model Barat, pengaruh Islam bisa terdegradasi secara perlahan.
Upaya politik haji yang dilakukan pemerintah kolonial untuk mencegah gejolak dalam pemerintahan, ternyata tidak membuat semangat Islam surut. Dengan diterapkannya politik etis yang memperlonggar peraturan keberangkatan haji, dapat meningkatkan jumlah jemaah haji hampir 300% dari tahun-tahun sebelumnya.
Penulis: Adelia Nanda Maulana/SM
Editor: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM