
Illustrasi seseorang yang tengah membuat mural dibalik jeruji besi. (Fais Azhar Djohari/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba – Masalah dalam pemerintahan negara Indonesia masih memiliki banyak catatan tiap periodenya. Terlebih saat pandemi, rakyat selalu gatal ingin mengkritik upaya pemerintah yang justru menambah catatan tugas yang harus di remedial. Seperti baru – baru ini, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan ramai diperbincangkan warganet.
Walau sudah beberapa kali berganti istilah, mulai dari Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) hingga PPKM level 4, Indonesia masih saja berstatus pandemi. Belum lagi isu bantuan sosial (Bansos) yang terhambat dan terbongkarnya kasus korupsi dana Bansos membuat kritik semakin memanas. Hal ini kemudian disambut rakyat dengan mulai bersuara menggunakan tulisan, foto dengan spanduk protes di media sosial, hingga kritik yang disajikan menggunakan mural.
Baru-baru ini kritik menggunakan mural terjadi di beberapa wilayah diantaranya, mural mirip wajah Jokowi yang ditutupi dengan tulisan “404: Not Found” di Kota Tangerang. Kemudian, mural dengan tulisan “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit” di daerah Pasuruan. Dan yang terakhir mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” tampak menghiasi dinding rumah seorang warga di Kabupaten Tangerang.
Sayangnya, ketiga mural yang viral di media sosial itu kini sudah dihapus, dan beredar berita bahwa para pembuat mural sedang dalam incaran polisi untuk mempertanggungjawabkan pembuatan mural nya.
Respon reaktif aparat dipertanyakan publik, sebab hal tersebut bertentangan dengan demokrasi. Sebelumnya, Jokowi dalam pidato kenegaraan rapat tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyoal budaya demokrasi dan rakyatnya yang aktif berpartisipasi dalam memberikan kritik.
“Saya juga menyadari, begitu banyak kritikan kepada pemerintah, terutama terhadap hal-hal yang belum bisa kita selesaikan. Kritik yang membangun itu sangat penting, dan selalu kita jawab dengan pemenuhan tanggung jawab, sebagaimana yang diharapkan rakyat. Terima kasih untuk seluruh anak bangsa yang telah menjadi bagian dari warga negara yang aktif, dan terus ikut membangun budaya demokrasi.” Ujarnya pada, Senin (16/8).
Hal ini semakin menegaskan betapa pemerintah seharusnya menerima kritikan rakyatnya. Hanya saja, perlu kita periksa kembali pernyataan Jokowi tentang budaya demokrasi itu. Apakah iya kita bebas berekspresi dalam memberi kritik?
Sebelum kasus penghapusan mural, sudah terjadi beberapa rentetan pembungkaman kritik pada periode ini. Mulai dari peretasan akun media sosial para aktivis anti korupsi, penangkapan aktivis yang membuat cuitan soal Papua, penangkapan mahasiswa saat aksi, penangkapan musisi yang sedang menggalang dana untuk penolakan revisi Undang- Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya.
Pernyataan – pernyataan Jokowi menjadi berbanding terbalik setelah melihat beberapa kasus diatas. Terlebih jika melihat pasal Rancangan Undang – Undang (RUU) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan presiden yang dianggap sebagai salah satu pasal anti kritik. Pada kasus mural kritik tersebut menurut petugas hukum, mural bertuliskan “404: Not found” yang berlatar ilustrasi wajah Jokowi merupakan bentuk penghinaan presiden yang merupakan lambang negara.
Hal tersebut membuat sejumlah tokoh seperti Sosiolog di Universitas Negeri Yogyakarta, Ubedilah Badrun menanggapi soal mural kritik yang juga mulai dibungkam dan dianggap sebagai tindakan represif. Dikutip dari nasional.tempo.co menurutnya, mural kritik ada sebagai bentuk lain dari kritik yang sudah dibungkam dan tidak didengar.
Hal ini pun menjadi pertanyaan besar bagi peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga akan pasal pidana mana yang merujuk pada kesalahan mural dan pembuatnya. Sebab, jika merujuk pada Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 36A tertulis bahwa lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, Jokowi bukanlah lambang negara.
Hal semacam ini, bisa membuat rakyat takut untuk berpendapat dan berekspresi. Tindakan pembungkaman jelas merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan demokrasi. Sepertinya, pemerintah terlalu banyak bicara demokrasi hingga lupa bagaimana demokrasi itu berfungsi. Tidak berbeda jauh dengan Indonesia, hal serupa juga terjadi di beberapa negara.
Pussy Riot, Rusia
Pussy Riot merupakan kelompok protestor feminis beraliran punk rock yang berasal dari Rusia. Dibentuk pada tahun 2011 oleh Nadezhda Tolokonnikova, kelompok ini kerap mengadakan pertunjukan tentang politik di Rusia dan menyampaikan kritikannya terhadap pemerintahan Vladimir Putin.
Salah satu aksinya yang kontroversial adalah pertunjukan Doa Punk yang diselenggarakan di depan Katedral Kristus Juru Selamat di Moskow, Rusia pada Februari 2012 lalu. Pertunjukkan tersebut dilakukan sebagai bentuk pertentangan terhadap terpilihnya kembali Valdimir Putin sebagai perdana menteri Rusia. Pada Maret 2012, tiga anggota kelompok Pussy Riot dijatuhi hukuman dua tahun penjara sebagai imbas dari beredarnya video pertunjukan mereka yang memicu kebencian agama.
Zehra Dogan, Turki
Zehra Dogan merupakan seniman dari Kurdistan yang pernah di penjara karena membuat lukisan tentang suatu distrik di Kurdistan yang dibakar oleh pasukan keamanan Turki. Akibat dari lukisan tersebut Zehra Dogan dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun sepuluh bulan pada 2017. Walau demikian, setelah kembali menghirup udara segar pada tahun 2019 ia mengatakan akan tetap melanjutkan perjuangannya.
Ai Weiwei, China
Ai Weiwei merupakan seniman yang berasal dari Beijing, China. Ia sering mengkritik pemerintah dan juga menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui karya-karyanya. Pada tahun 1995, sebuah foto di mana Ia sedang memecahkan vas yang diyakini berasal dari Dinasti Han menjadi kontroversi. Tindakannya tersebut memicu amarah di kalangan pejabat China pada saat itu.
Pada tahun 2011, Ai Weiwei ditangkap di bandara Beijing ketika Ia hendak berangkat ke Hong Kong. Tidak ada yang mengetahui alasan jelas dibalik penangkapannya. Seorang sahabat Ai Weiwei yang juga seorang pemusik, menduga Ai Weiwei terlibat konflik dengan pejabat pemerintah China sehingga membuatnya ditangkap. Tidak sampai disitu, Polisi bahkan harus memutus aliran listrik di daerah sekitar studio milik Ai sebelum mereka mulai melakukan penggeledahan.
Apapun bentuk tekananya, kritik disampaikan tetaplah bentuk protes dari rakyat yang melihat kesalahan dalam pemerintah. Jadi pemerintah tidak seharusnya membatasi gerak seseorang untuk menyampaikan pendapat bahkan jika pendapat tersebut disampaikan melalui sebuah karya seni.
Penulis: Khaira Faiq & Reza Umami
Editor: Sophia Latamaniskha