Suaramahasiswa.info, Unisba–Pesta demokrasi pada Februari lalu dihiasi oleh sejumlah perguruan tinggi yang menyampaikan petisi dan kritik terhadap demokratisasi Indonesia saat itu. Sebanyak puluhan perguruan tinggi melakukan hal tersebut dipicu adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Joko Widodo.
Demokratisasi sendiri merupakan suatu proses menuju sistem politik yang lebih demokratis. Upaya tersebut dapat terwujud saat kekuasaan politik lebih merata terdistribusi di antara warga negara dan hak-hak politik mereka dihormati. Dalam hal ini, perguruan tinggi ikut serta mengadopsi demokratisasi.
Namun, bak peribahasa “Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat” demokratisasi di perguruan tinggi nyatanya tak berjalan seperti yang digaungkannya. Tak jarang pihak kampus masih mengenyampingkan demokrasi dalam kehidupannya.
Bahkan hal ini diamini oleh Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah IV M. Samsuri yang mengatakan bahwa keputusan yang dibuat perguruan tinggi tidak harus selalu melibatkan mahasiswa. Walaupun menurutnya lebih baik mahasiswa dilibatkan tetapi hal tersebut dapat menjadi peluang penyelewengan.
“Bisa dilibatkan dan bisa tidak tetapi yang ingin saya tekankan biasanya peraturan itu tidak selalu semacam observasi yang dilakukan oleh pimpinan atau organ PT maka kalau wajib juga tidak selalu,” tuturnya pada Selasa, (12/09/2023).
Tidak hanya itu, kebebasan mimbar akademik yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi hanya diperuntukan kepada profesor atau dosen. Pasal tersebut pun digugat oleh salah seorang mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi karena kekhawatiran akan ruang gerak dan partisipasi mahasiswa untuk bersuara kian sempit.
Tak jarang terjadi pembatasan ruang bersuara guna pembungkaman hingga pengeluaran/drop out (DO) sivitas akademika. Seperti yang terjadi pada 2021 lalu, tiga orang mahasiswa Universitas Lancang Kuning di-DO setelah melakukan demonstrasi terhadap rektor yang diduga telah melakukan penebangan pohon secara ilegal dan penjualan skripsi.
Selain itu, pada tahun yang sama, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Bengkulu sempat dibekukan oleh Dekan Fakultasnya. Disinyalir, pembekuan tersebut terjadi seusai mengkritik birokrasi pelayanan mahasiswa dan transparansi pendanaan organisasi mahasiswa melalui akun instagramnya.
Perkara ini bersinggungan dengan lima peran dan fungsi mahasiswa (social control, agent of change, iron stock, moral force, dan guardian of value) yang hambar diaplikasikan di lingkungan sendiri. Minimnya kesempatan yang diberikan pihak kampus untuk melakukan diskusi terbuka guna menciptakan dinamika demokratisasi.
Keterlibatan seluruh sivitas akademika kampus dalam pengambilan keputusan akan menciptakan demokratisasi. Selain itu, demokratisasi dapat tumbuh dengan menumbuhkan rasa peka dan rasa tanggung jawab terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan kampus dengan membuka forum diskusi bebas antar masyarakat kampus.
Jika kampus abai dalam demokratisasi internalnya maka akan ada harga yang harus dibayar. Salah satunya kematian rasa sosial dan rasa moral para penghuni kampus.
Penulis: Rizki Khisban/SM
Editor: Adelia Nanda Maulana/SM