Ilustrasi seorang wanita dengan tulisan “kekerasan seksual bukan zina” di tangannya. (Ilustrasi: Muhammad Irfan/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Isu kekerasan seksual hingga saat ini masih menjadi sorotan penting, khususnya di lingkungan kampus. Namun, pemahaman masyarakat hingga para penegak hukum masih perlu dipertanyakan, para korban seringkali dianggap sebagai pemicu perbuatan tersebut hingga dianggap berzina. Hal itu menjadi salah satu alasan korban tidak ingin melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang.
Kerap terjadi mispersepsi dalam aturan pencegahan kekerasan seksual karena substansinya dianggap oleh publik tidak sesuai pancasila dan agama. Salah satunya pada pasal 5 ayat 2 yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Beberapa pihak menolak aturan ini karena memuat narasi “Tanpa persetujuan korban” yang dianggap melegalkan perzinahan apabila mendapat persetujuan.
Salah satunya Universitas Islam Bandung (Unisba) yang turut mengkritisi peraturan tersebut secara substansial. Dalam wawancaranya bersama BandungBergerak.id, Rektor Unisba, Edi Setiadi menjelaskan secara global Permendikbudristek mengambil alih tugas-tugas aparat penyidik. Di samping itu, Ia pun mengungkapkan peraturan tersebut selaras dengan Unisba dalam membuat peraturan terkait perbuatan asusila mahasiswa, seperti pergaulan bebas tanpa perkawinan.
Namun, kesalahpahaman antara zina dan kekerasan seksual seringkali menjadi penghambat untuk menegakkan keadilan, padahal kedua hal tersebut memiliki definisi yang berbeda. Organisasi Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan. Tindakan ini dilakukan dengan adanya unsur paksaan atau ancaman.
Berbeda dengan zina, di dalamnya terdapat sexual consent atau persetujuan antara kedua belah pihak untuk melakukan aktivitas seks. Maka dari itu, narasi yang dituliskan “tanpa persetujuan” dalam Permendikbud PPKS justru bertujuan untuk mempertegas bahwa dalam kasus kekerasan seksual, korban tidak menyetujui tindakan tersebut dan berada dalam ketidakberdayaan.
Dalam hal ini, tidak adanya persetujuan korban menjadi salah satu bukti pidana (unsur objektif) untuk menyatakan tindakan tersebut termasuk kekerasan seksual. Secara yuridis pun tindakan kekerasan berbeda dengan tindakan asusila. Dalam kekerasan seksual terjadi pelanggaran oleh pelaku atas hak tubuhnya dan merugikan korban. Maka dalam hal ini ada pihak yang harus dihukum dan dilindungi.
Sedangkan pada kasus zina, kedua belah pihak dianggap sebagai pelaku pelanggaran, yang secara moral dan ajaran agama keduanya patut diberikan hukuman. Oleh karena itu, konsep ini tidak dapat dicampur adukkan dalam hukum kekerasan seksual sebab berpotensi menyudutkan korban.
Islam dengan tegas menilai zina sebagai perbuatan yang haram dan termasuk ke dalam dosa besar. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri, zina ditempatkan sebagai kejahatan kesusilaan. Dalam konteks kesusilaan ini, KUHP memberikan batasan zina sebagai perbuatan hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang dimana salah satunya telah menikah.
Batasan pernikahan ini pun ternyata menjadi perdebatan berbagai elemen. Sebab, dengan begitu negara dinilai tidak melakukan tindak pidana bagi yang melakukan dosa apabila tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas hal tersebut. Sebagaimana dalam KUHP pasal 416, dijelaskan bahwa tindak pidana zina tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar dan melaporkan perbuatan tersebut.
Membahas seks, memang tidak akan pernah ada habisnya. Namun, perlu ditegaskan kembali jika kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 28 G yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri, kehormatan dan martabat, serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian, negara wajib menghukum pelaku dan melindungi korban.
Namun sayangnya pemahaman masyarakat dalam menyikapi kasus kekerasan seksual sangat minim. Hal itu menjadi alasan korban tidak melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang.
Pada tahun 2020 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melakukan survey mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus, tercatat 77% kasus kekerasan seksual telah terjadi. Namun, sekitar 63% korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya. Menurut Komnas Perempuan melalui komisionernya, Dewi Kanti Setianingsih dalam wawancaranya bersama timesindonesia.co.id, menyebut ada beberapa alasan korban enggan melapor kasus kekerasan seksual.
Pertama, karena khawatir merasa dikucilkan dan mendapat stigma negatif dari lingkungan Kedua, perspektif hukum yang seringkali tidak berpihak kepada korban. Ketiga, minimnya fasilitas untuk menyelesaikan dengan tuntas. Hal itu pun diperkuat oleh ahli hukum, Lidwina Inge Nurtjahyo mengatakan upaya pencegahan kekerasan seksual di institusi pendidikan masih terbentur dengan masalah mispersepsi, baik di kalangan masyarakat maupun pemangku kebijakan.
Penulis: Melani Sri Intan/SM
Editor: Muhammad Irfan/SM