Ilustrasi setan yang menghasut korban untuk tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang ia alami. (Ilustrasi: Muhammad Irfan/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Jauh sebelum keriuhan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), aturan terkait kekerasan seksual sudah ada namun terbilang sangat terbatas. Dari ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga beberapa UU lainnya yang mengatur hal serupa, belum dapat memberantas tindak kekerasan seksual dengan efektif.
Seperti yang dapat dilihat dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada kurun waktu 2012–2021, sedikitnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Pada Januari-November 2022 Komnas Perempuan telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.
Mirisnya, mayoritas penyelesaian kasus kekerasan seksual berakhir tanpa kepastian. Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 57% korban kekerasan seksual mengaku tidak mendapatkan penyelesaian dalam kasus tersebut. Selain itu, 39,9% korban kekerasan seksual menyatakan bahwa solusi yang mereka dapat dalam penyelesaian perkara ini adalah dengan membayar sejumlah uang kepada korban.
Belum lagi sebanyak 26,2% korban justru berakhir menikah dengan pelaku. Kemudian masalah kekerasan seksual yang diselesaikan dengan jalan damai atau secara kekeluargaan berada tepat di bawahnya, yakni 23,8%. Kemudian hanya 19,2% korban yang berhasil mengawal kasus kekerasan seksual, sehingga pelaku berakhir di penjara.
Selain itu, dalam dunia pendidikan pun tidak luput dari adanya tindakan kekerasan seksual, seperti yang terjadi di Universitas Siliwangi. Pada 30 Januari 2023, diduga seorang dosen berinisial EDH melakukan kekerasan seksual terhadap beberapa mahasiswa. Menurut laporan dari CNN, saat ini dosen tersebut sudah dinonaktifkan.
Kini, payung hukum yang lebih baik dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual yaitu UU TPKS telah disahkan pada 13 April 2022 lalu. Hal ini lantas menjadi kabar baik bagi banyak orang, namun proses implementasinya menjadi sebuah perjuangan yang lain. Sebagai garda terdepan, aturan di tingkat kepolisian menjadi pivotal.
Namun aparat penegak hukum kerap merespon kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban. Misalnya Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Sidayu Gresik, Iptu Khairul Alam yang menganggap kejadian pria mencium seorang anak perempuan di daerahnya bukan suatu pelecehan seksual karena sejumlah alasan, mulai dari tidak sampai buka baju, hingga tidak ada laporan.
Adapun hal penting lainnya, melansir dari kemenpppa.go.id, kekerasan seksual pada anak adalah delik biasa alias polisi tak perlu menunggu aduan atau persetujuan korban untuk melakukan proses hukum. Oleh karena itu, jika memenuhi unsur pidana dalam pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014, maka pelaku terancam sanksi pidana dalam pasal 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 dengan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal 5 miliar rupiah.
Kasus serupa terjadi di Tangerang Selatan, seorang Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Tangsel, Iptu Siswanto menyepelekan perbuatan pelaku karena menurutnya hanya “pegang-pegang dari luar”. Terlepas dari kasus ini yang tidak diproses hukum setelah keluarga pelaku minta maaf kepada keluarga korban, polisi justru membuat definisi pelecehan seksual sendiri dan tidak mengacu pada UU TPKS.
Di sisi lain, peran keluarga sangat penting dalam menangani tindak kekerasan seksual. Contoh kasusnya seperti yang terjadi di Kabupaten Tuban dan Banyuwangi pada tahun 2022 lalu. Dua perempuan tersebut diperkosa hingga hamil oleh anak kiai setempat dan tiga orang pria. Nahas, daripada melindungi korban, keluarga dari dua perempuan tersebut menikahkannya dengan si pelaku pemerkosa.
Dikutip dari laman situs web hukumonline.com, saat ini perdamaian antara korban dan pelaku kekerasan seksual kerap dilakukan dengan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan mediasi mempertemukan korban dan pelaku serta pihak keluarga dengan berfokus pada pengembalian ke keadaan semula baik korban maupun pelaku.
Adanya kebijakan yang dikeluarkan untuk memberantas kekerasan seksual ditambah banyaknya orang yang menggaungkan terkait hal tersebut, tidak lantas menumpas tindak kekerasan seksual yang ada. Sejumlah angka dalam pelaporan hanyalah yang ada di permukaan, tidak sampai ke pedalaman. Jika terus begini, ancaman kekerasan seksual dapat membudaya dan semakin menghantui masyarakat Indonesia.
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Muhammad Irfan/SM