Suaramahasiswa.info, Unisba– Dua ribu lebih kasus Kekerasan Seksual (KS) terjadi di perguruan tinggi menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per April 2024. Data itu pun hanya menunjukkan kasus di permukaan karena yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi.
Lembaga pendidikan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat mencari ilmu, kini tak ubahnya muara duka bagi korban kekerasan seksual. Bayangkan saja, mahasiswa yang ingin menuntut ilmu malah mendapat ucapan seksis hingga digerayangi tangan si “otak selangkangan”.
Kasus KS lebih banyak menimpa perempuan yakni mencapai 87 persen. Sedangkan, pria yang mengalami kekerasan seksual sekitar 13 persen. Kasusnya pun variatif dan sangat kompleks, bahkan modusnya pun makin canggih.
Jumlah sebanyak itu sudah lah mendapat trauma fisik dan psikis, kini malah jamak terjadi menyalahkan para korban. Mereka dituduh mengundang para pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya. Korban pun disalahkan atas pakaian yang dikenakan, sering keluar di malam hari, dan alasan tak masuk akal lainnya.
Padahal kekerasan seksual bukan soal waktu apalagi pakaian yang dikenakan. Data mencatat bahwa sebagian korban kekerasan seksual tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami kekerasan seksual. Hasil survey juga menunjukan bahwa waktu korban mengalami kekerasan seksual mayoritas terjadi pada siang hari.
Budaya menyalahkan korban atau victim blaming dapat menghambat para penyintas kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan.
Mereka dibayangi rasa takut akan berbalik disalahkan. Pada level lembaga pendidikan juga korban kekerasan seksual tak jarang dikeluarkan dari sekolahnya dengan berbagai cara atau dilambatkan proses peradilannya.
Hal tersebut ditemui di Universitas Islam Riau (UIR), korban kekerasan seksual berinisial W diduga dilecehkan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Dengan proses yang jelimet, kasus dipindahkan secara tiba-tiba ke Polda Riau.
W pun merasa ada yang janggal dengan penanganan kasus tersebut. Setelah melewati gelar perkara yang kedua kali, tiba-tiba W dikabarkan bahwa laporannya tidak lagi dilanjutkan oleh Polda Riau tanpa ada alasan yang jelas.
Kasus lainnya yaitu kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Dekan di Universitas Victory (Unvic) Sorong terhadap salah satu mahasiswanya. Menurut penuturan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Gerimis Papua Barat, Yosep Titirlolobi, korban telah dikeluarkan oleh pihak kampus secara diam-diam.
Selain itu, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) mengungkapkan masih ada pelajar di Jawa Tengah yang menjadi korban kekerasan seksual justru dikeluarkan dari sekolah. Pendamping hukum LRC-KJHAM, Leni Ristiani mengatakan, korban biasanya tidak dinyatakan keluar secara langsung. Namun diminta pindah sekolah secara halus.
Seperti yang terjadi pada RA, pelajar dari salah satu MTS Swasta dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan hamil lima bulan setelah mengalami pemerkosaan. Menurut Aktivis Perempuan, Ana mengatakan kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap korban. Korban kekerasan seksual menghadapi dampak berlapis, yakni stigma dan victim blaming di masyarakat.
Victim Blaming dianggap sebagai sebuah pembenaran atas suatu ketidakadilan dengan mencoba menemukan cacat atau kesalahan pada korban. Mirisnya sebagian besar pihak-pihak yang menyalahkan korban pun meliputi orang terdekat korban dimulai dari teman, keluarga, kerabat, bahkan pihak-pihak yang bekerja pada instansi tertentu. Tidak jarang orang yang tidak dikenal oleh korban juga ikut menyalahkan korban.
Dengan keresahan ini mari kita lihat komitmen pemerintah untuk memberantas kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kemendikbud Ristek pada 2021 mengeluarkan kebijakan mengenai pencegahan dan penanganan KS di Perguruan Tinggi. Lebih luas, terdapat Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Bahkan Permendikbud Ristek tersebut memberikan mandat pada perguruan tinggi untuk membentuk satgas PPKS. Namun dalam implementasinya banyak satgas PPKS yang tak berumur panjang, ada yang dari awal memang belum terbentuk hingga sudah dibentuk namun dibungkam.
Dalam hal ini pula, sulit untuk tidak melihat bahwa carut marut yang ada adalah hal sistemik. Banyak penyebab dari masalah ini bermula karena sistem sosial disetir jiwa-jiwa yang tidak memiliki jatah nalar soal kemanusiaan. Penyintas mendapat ketidakadilan tanpa pernah bisa mengendalikan situasi yang mereka hadapi.
Budaya patriarki, salah satu penyebabnya. Konstruksi masyarakat yang menempatkan perempuan pada kelas dua yang dimarginalkan. Hal ini membuat segala tindakan pada perempuan layak dilakukan dan menjustifikasi pelaku sebagai pihak yang tidak bersalah, termasuk kekerasan seksual.
Selain itu, penyalahgunaan relasi kuasa tak kalah menyeramkannya. Situasi ini terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban. Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa, orang tua terhadap anak, ketua organisasi dan stafnya, dan lain sebagainya.
Perilaku menyalahkan korban kekerasan seksual akan malah melanggengkan kasus kekerasan seksual itu sendiri. Budaya patriarki yang mengakar perlu diubah sedari dini, baik melalui pendidikan, aksesibilitas yang setara, hingga perlindungan hukum yang maksimal.
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Melani Sri Intan/SM