
Ilustrasi orang yang sedang bernyanyi di tanah retak. (Ilustrasi: Nabila Siti Nurfadilah/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba– Lagu “Tanah Indah untuk Para Terabaikan Rusak dan Ditinggalkan” karya FSTVLST bukan hanya sekadar karya musik tanpa makna. Ia hadir sebagai renungan, pengingat, perlawanan, kepedihan atas wajah Indonesia yang retak.
Lagu ini dibalut dengan amarah sekaligus lirik puitis yang menggema. FSTVLST seakan menyuarakan keresahan yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini. Saat mendengarkannya, kita terbawa untuk menengok ke sekeliling siapa yang terabaikan? Siapa yang merusak? dan siapa yang ditinggalkan?
Dalam lagu ini, “Tanah yang Indah” bukan menggambarkan secara geografis, namun sebuah metafora atas negeri yang begitu kaya, subur, keanekaragaman budaya, dan semangat rakyatnya. Negeri yang digadang-gadangkan menjadi tempat bernaung dan tumbuh bersama, namun dalam lirik lagu ini justru menjadi ruang bagi mereka yang dikucilkan, dirusak, dan dilupakan oleh penguasa.
ku bangun mesinnya dari logam senjatamu
yang menyayat-nyayat
ku merangkai sayapnya dari sampah serapahmu
yang menampar-namparku
mengepul minyak bakar yang menetes kencang
dari lebam biru yang menghitam
Lagu yang rilis pada tahun 2014 ini juga menyentil soal kerusakan, bukan hanya dalam arti fisik seperti kerusakan alam akibat eksploitasi melainkan kerusakan pada tatanan sosial dan moral di negeri ini. Kita bisa melihat bahwa hukum dapat dipermainkan, demokrasi perlahan dihilangkan, dan kekuasaan dijalankan tanpa transparansi. Ketika suara kritis masyarakat dibungkam dan aktivisme dianggap mengganggu, kita akan menyaksikan “kerusakan” yang jauh lebih dalam.
kan ku ajak mereka yang merasa serupa
kan kujemput jiwanya di rumahnya
jiwa-jiwa yang terabaikan rusak dan ditinggalkan
terundang terbang bersama
Lewat lagu ini, kita diajak untuk melihat bagaimana suara-suara kaum marjinal yang merasa terpinggirkan terutama di era rezim saat ini. RUU yang disahkan tanpa partisipasi rakyat, proyek-proyek pembangunan yang menggusur, hingga rakyat yang menjadi korban akibat kebijakan yang tidak inklusif. Semua itu memperjelas siapa yang dianggap “terabaikan” melalui lagu ini.
Tak hanya berbicara soal ketidakadilan, lagu ini juga bicara tentang kehilangan. Alih-alih memberdayakan, namun negara justru menghadirkan ketimpangan yang semakin dalam. Banyak rakyat yang merasa ditinggalkan oleh negaranya, oleh pemimpinnya, bahkan oleh harapan melalui janji-janji dari penguasa itu sendiri. Lagu ini menjadi suara dari mereka yang mungkin tak lagi memiliki ruang untuk bersuara.
Suara untuk Menyerukan Perubahan
ruang yang megah menjelajah
waktu yang entah berpihaklah
langit yang pemurah berkatilah
tanah yang indah kami datang
Sebagai penutup dari lagu ini, FSTVLST mengajak kita untuk menyalakan empati kita, mendorong untuk peka kepada mereka yang merasa “terabaikan”, serta mengingat bahwa negeri ini masih terasa indah meski banyak hal yang sedang tidak baik-baik saja. Keindahan itu akan benar-benar bermakna jika bisa dinikmati bersama, tidak hanya oleh segelintir orang. Maka penting bagi kita untuk tetap peka, tetap bersuara, dan tetap mengingat bahwa perubahan akan datang bagi mereka yang tidak tinggal diam.
Penulis: Nabila Khairunnisa Gunawan/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM