
Suasana di depan Gang Kampung Simpen, Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka pada Kamis (10/5). Terlihat banyak poster yang mengindikasikan semangat perlawanan untuk mempertahankan hak tinggal warga atas ancaman penggusuran akibat konflik lahan yang terjadi. (Foto: Dandi Pangestu Rusyanadi/SM).
Suaramahasiswa.info, Unisba–Warga Kampung Simpen di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka masih berdiri melawan sengketa tanah pada Sabtu, (10/5). Keresahan yang mereka hadapi akan ancaman kehilangan hak hidup sejak 2009 tidak menyurutkan semangat untuk tetap bertahan.
Diketahui bahwa sengketa ini berawal dari adanya gugatan oleh kelompok yang mengaku ahli waris Oce bin Mansur kepada ahli waris Apud Kurdi. Mereka mengklaim tanah yang dikuasai oleh Apud merupakan milik keluarga Oce. Hasilnya, pada 2010 gugatan tersebut ditolak.
Namun tak sampai di situ, pada 2011, pihak Oce bin Mansur kembali menggugat pihak Apud. Kemudian dari tahun tersebut hingga 2023, proses hukum berlangsung bahkan pada 2022 eksekusi sempat akan dilakukan.
Saat itu, alat berat telah disiapkan namun berhasil digagalkan oleh warga setempat. Sejumlah warga pun merasa terintimidasi akibat tekanan yang dilakukan langsung ke rumah-rumah mereka.
“Warga dulu selalu diintimidasi. Jadi semuanya ketakutan, diintimidasi bukan jam segini (sore) tapi malam hari dia datang ke rumah penduduk jadi penduduk ketakutan.” ucap Wahyu Sobirin selaku menantu dari Apud Kurdi.
Selain itu berdasarkan penuturan Wahyu, kondisi ini diperparah oleh minimnya respon dari pejabat terkait. Warga Tenjolaya mengaku telah menyerahkan bukti kepada Bupati dan Gubernur namun hingga kini belum ada tindak lanjut.
Ia pun mengatakan, terdapat dugaan manipulasi data tanah di tingkat desa. Dugaan ini dibuktikan dengan perubahan data Letter C di tingkat Desa Tenjolaya ketika sebelum dan setelah pemekaran menjadi Desa Panenjoan dan Desa Tenjolaya. Disinyalir terdapat ketidaksesuaian dalam data yang tertera di Persil asli dengan Persil salinan yang dijadikan dasar gugatan.
“Ada angka 920 (lahan yang disengketakan) yang itu jadi dasar gugatan, mereka memiliki yang kedua supaya mengaburkan kami bahwa dari mana misalkan dia itu dalam letter C nya 130 (Desirae) Oce Mansur itu 130 itu sudah dijual ke almarhum Haji Bisri artinya dia sudah habis. Nah letter C di Desa Tenjolaya tidak ada letter C Haji Bisri artinya ada yang menyobek, saya teruskan ada yang menghilangkan data itu supaya tidak terlacak.” Jelasnya.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa kini warga setempat bersikap tegas untuk melawan dan menolak segala bentuk kompromi demi mempertahankan hak atas tempat tinggal mereka. Ia juga menyayangkan penggusuran yang dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kelangsungan pendidikan anak-anak sehingga dinilai sebagai tindakan tidak adil.
“Hanya satu kata, Lawan. Sudah tidak ada kompromi bagi mereka. Mereka (warga-Red) tetap perlu pendampingan, pengacara karena rumah bukan tempat berteduh beristirahat, banyak cerita masa kecil. Tiba-tiba harus digusur kan tidak semudah itu. Apalagi dunia pendidikan, harus ditempatkan kan siswa itu.” Ujar Wahyu saat diwawancara pada Sabtu, (10/5).
Sementara itu, salah satu Warga Tenjolaya lainnya, Rini Halimah akui merasa resah dan terancam atas rencana eksekusi lahan yang akan dilakukan. Ia ungkap, sejak terjadi sengketa tanah tersebut membuat kehidupan Rini dan warga lainnya menjadi tidak tenang bahkan kesulitan untuk tidur dengan nyenyak.
Rini melanjutkan, tanah tersebut harus diperjuangkan karena itu hak mereka. “Kami akan perjuangkan sampai titik darah penghabisan kami karena ini hak kami dari nenek moyang kami, kami tinggal disini mulai tahun 70 (1970-Red) nenek sama buyut tinggal di sini.” Ungkapnya.
Senada dengan Rini, Nandang mengatakan bahwa tanah tersebut harus diperjuangkan sebab merupakan bagian dari hak hidup masyarakat. Ia menegaskan, warga Desa Tenjolaya bukan pendatang baru melainkan telah lama menempati tanah tersebut.
“Di balik itu juga kita bukan melawan hukum tapi melawan hak kita, hak hidup. Kita tinggal di sini kan bukan kemarin-kemarin, udah lama gitu kan, jadi warga menolak adanya penggusuran.” Ucapnya saat diwawancarai melalui telepon pada Minggu, (11/5).
Nandang berharap, warga dapat mempertahankan haknya dan tidak tinggal diam terhadap proses eksekusi yang akan dilakukan. Ia juga menyampaikan bahwa perjuangan tersebut dapat menjadi contoh untuk daerah lain yang terdampak konflik tanah untuk terus memperjuangkan hak mereka.
Sama halnya dengan Nandang, Rini berharap agar kejadian serupa tidak terulang di mana pun. Rini menyampaikan harapan kedepannya agar tidak ada lagi peristiwa seperti mafia tanah atau eksekusi lahan terutama karena kehidupan warga akan dipertaruhkan.
Di sisi lain, Wahyu berharap haknya segera dikembalikan agar sekolah bisa tetap berdiri, warga bisa tenang, dan orang yang sedang membangun usaha tidak lagi diganggu. Wahyu juga memaparkan agar kehidupan warga Tenjolaya kembali seperti dulu–mendapatkan kedamaian dan kerukunan.
“Yang jadi harapan besar saya, kembalikan kepada yang punya haknya, sekolah yang tetap berdiri, warga yang bisa tenang lagi, usaha apapun tidak diganggu oleh hal-hal yang demikian. Kami bisa kembali menjadi milik kami, timbulnya kedamaian, kerukunan warga, itu aja harapannya.” Pungkasnya.
Reporter: Dandi Pangestu Rusyanadi/SM & Alfira Putri Marcheliana Idris/SM
Penulis: Kelvin Rizqi Pratama/SM
Editor: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM