Sepakbola layaknya sebuah drama, para aktornya baik pelatih maupun pemain sama-sama memainkan peran sedemikian rupa. Tindakan sportif, saling jegal, bekerjasama bahu membahu demi kemenangan, tangis haru maupun kekecewaan semuanya bernas membentuk sebuah plot di dua kali 45 menit. Bagai sebuah film, suka duka dalam permainan ini muncul hingga penonton yang tidak bermain pun ikut merasakan atmosfer panasnya sebuah pertandingan.
Dengan Perkembangan sepak bola yang makin hari semakin terasa di segala aspek. Penonton di rumah pun kini diajak untuk meresakan euforia sebuah ‘drama’ pertandingan, layaknya di dalam stadion. Sepak bola adalah sebuah cerita, dan cerita ini sekarang bisa dikemas dengan tayangan yang mempuni lewat teknologi.
Para penggemar Cristiano Ronaldo kini bisa melihat cucuran keringat yang membasahi tubuh kekarnya dengan jelas. Ekpresi muka Lionel Messi saat menjadi algojo penalti bisa tergambar pun dengan jelas. Serta jegalan Pepe saat melakukan tekel yang membuat rumput Santiago Bernabeu sedikit terlepas bisa terlihat. Dengan sentuhan slowmotion, sedikit demi sedikit rumput nampak beterbangan terkelupas, tekelan bek Portugal itu bagai tarian indah dan lapangan menjadi panggung baginya. Tayangan berteknologi sungguh memberikan tontonan manja bagi penggemarnya.
Jika memang sepakbola mempunyai sebuah alur cerita yang bisa ditayangkan, apakah olahraga ini bisa dikatakan olahraga ‘sinematografi’? Sinematografi sendiri pada hakikatnya adalah sebuah ilmu tentang teknik mengambil gambar dan menggabungkan gambar-gambar tersebut, sehingga menghasilakan sebuah cerita atau ide. Disiplin ilmu ini erat kaitannya dengan produksi sebuah film. Lantas apakah sepakbola memenuhi kualifikasi sinematografi?
Ada benarnya dan tentu banyak salahnya, namun tayangan sepak bola kini bagai berkolaborasi secara alamiah dengan sinematografi. Selain contoh di atas (CR7, Messi dan Pepe), dalam sebuah pertandingan kamera-kamera yang dipasang jumlahnya bisa sangat banyak, memenuhi tiap sudut stadion. Jumlah kamera itu diperuntukan untuk mengambil momen tiap angle ‘plot’ dari sebuah permainan. Misalnya, sebuah gol bisa terlihat dari sisi kiri, kanan, atas, atau sudut pandang penonton dari segala penjuru tribun stadion. Serta efek lainnya, seperti gerakan lambat, zoom pada pemain dan lain sebagainya.
Selain kamera biasa yang sudah lazim di pasang dalam sebuah pertandingan, kini kamera berteknologi mutakhir ikut meramaikan. Seperti spidercam yang dipasang pada atas lapangan menggunakan kawat baja, yang dikontrol melalui seorang operator. Serta ‘Mata Elang’ untuk memantau situasi gawang.
Penggunaan spidercam sendiri berfungsi untuk menghasilkan gambaran tiga dimensi dalam sebuah pertandingan. Kecanggihan dari kamera ini mampu bergerak tanpa dibatasi oleh kendala di atas tanah, tentu membantu penonton untuk menjadi lebih dekat dengan lapangan, dan bisa melihat gerakan pemain idolanya. Tekonologi ini sudah dipakai saat pelaksanaan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan kemarin. Selain menghasilkan view yang menarik, spidercam membuat angle berbeda yang ciamik, penonton bisa ‘ikut berlari’ bersama pemain maupun bola. Kamera ini pun memungkinkan untuk menghasilkan gambar ultra slowmotion atau gerakan sangat lambat.
Mata elang yang menjadi teknologi lainnya populer dengan sebutan Hawk-Eye. Teknologi ini digunakan untuk memantai situasi di gawang, terutama saat terjadi kejadian gol yang sulit untuk dilihat wasit. Cukup banyak kejadian kotroversial terjadi di garis lapang gawang, sebut saja pertandingan antara Inggris melawan Jerman di Piala Dunia 2006. Saat itu tendangan Frank Lampard dianulir wasit karena menurutnya belum melewati garis gawang. Padahal kamera merekamnya sangat jelas, bola sudah melewati garis gawang.
Sederhannya teknologi ini bekerja jika bola sudah melewati garis gawang, jam tangan khusus yang dikenakan wasit akan memperlihatkan tulisan gol. Selain dari jam, gol juga bisa didengar lewat ear piece yang dikenakan sang pengadil lapangan. Peralatan ini terhubung melalui teknologi Hawk-Eye. Mata Elang sendiri sudah dipakai di Liga Inggris dan saat Piala Dunia wanita 2015 di Kanada.
Terlepas dari segala kecanggihannya, untuk memanjakan penonton di rumah, penggunaan teknologi berlebihan banyak menuai kritik. Salah satunya karena menghilangkan sisi ‘manusia’ dalam sepakbola itu sendiri. Seolah ingin menghapus kesalahan seminimal mungkin dari wasit utamanya.
Namun, lebih dari itu, sepakbola adalah tontonan paling menghibur di muka bumi. Cerita mengenai realitas kehidupan anak adam bisa tergeneralkan oleh olahraga 11 lawan 11 ini. Semoga drama dalam sepakbola yang sedikit terbungkus dengan teknologi dan ‘sinematografi, bisa menjadi sarana untuk memanusiakan manusia. (Insan/SM)