
Oleh : Bobby Agung Prasetyo*
Adakah yang punya usulan untuk membuka kata pada artikel ini? Karena mau tak mau, kebosanan akan melanda jiwa-jiwa sosialita kawan semua—mengingat kisah ini adalah sebuah ‘lagu lama’ tentang elegi yang bersifat repetitif dan tak pernah mau habis. Ya, membayar uang kuliah di Kampus Unisba.
Di Jumat siang nan syahdu minggu lalu, sekumpulan mahasiswa sibuk meneguk air mineral dalam kemasan gelas. Sebelumnya, mereka baru saja melakukan aksi menolak cuti paksa dan meminta penangguhan diperpanjang (klik beritanya di sini). Sambil rehat sejenak, beberapa dari mereka—termasuk saya yang ikut ke lokasi untuk mengambil gambar (klik berita fotonya di sini)—masih terlihat mempermasalahkan putusan dari aksi tadi. Intinya, Wakil Rektor I menggaransi tidak adanya cuti paksa NAMUN kebijakan dikembalikan lagi ke pihak fakultas masing-masing (klik beritanya di sini).
Beberapa kalangan, termasuk saya, menyimpulkan bahwa kebijakan tersebut adalah kebijakan ‘cuci tangan’. Mengapa?
Ketika putusan dikembalikan lagi ke tiap fakultas, kondisi yang diharapkan malah tak berjalan mulus. Beberapa fakultas memberikan kelonggaran bagi mahasiswanya; ada yang mendapat kelonggaran waktu 10 hari, ada yang kembali mengisi surat penangguhan, dan sebagainya. Fikom termasuk fakultas yang agak keras dalam mempertahankan kebijakan, namun masih bisa ditolerir.
Sedikit intermezzo, ada yang unik dari Fikom. Pertama, minimnya mahasiswa yang ikut aksi pada Jumat lalu; sekalinya ada, hanya berdiri di sudut-sudut gerombolan. Kedua, adanya flashmob dari salah satu himpunan mahasiswanya bagi saya merupakan sebuah “antiklimaks” di hari akhir pembayaran. Hal ini terlepas dari ketidaktahuan saya mengenai apakah kegiatan ‘menari bersama’ tersebut memang telah terjadwal atau tidak.
Balik lagi ke topik.
Kesedihan mendalam sukses mengoyak hati saya dan juga teman-teman dari Fakultas Ekonomi dan Budaya (FEB). Tak sedikit dari mereka yang mengadu pada Pers Suara Mahasiswa tentang fakultasnya yang menerapkan konsep pembayaran ala pegadaian (klik beritanya di sini)
Speechless.
Banyak hal yang lebih speechless lagi di luar sistem pembayaran FEB, salah satunya ketika teman saya yang niatnya curhat ke dosen walinya bahwa ia tak mampu membayar pada waktu yang tela ditetapkan, malah disuruh mencutikan diri sebelum dicutikan paksa. FYI, dosen wali tersebut juga menjabat sebagai wakil dekan di fakultasnya.
Ada lagi kisah pilu dibalik pembayaran SKS ini. Siang hari selepas beribadah Shalat Jumat, saya bertemu dengan kawan kampus (demi kenyamanan, nama dan jurusan dirahasiakan) yang sedang terlihat pusing. Terlibatlah percakapan mendalam dengannya.
“Kunaon? (kenapa?)” ucap saya.
“Urang bingung, can bisa mayar. Dicutikeun ge teu nanaon lah.” (saya bingung, belum bisa membayar. Dicutikan juga tak apalah.)” lirihnya.
Singkat kata, saya berusaha tegas memberitahukan bahwa hal ini pasti bisa dinegosiasi lagi jika kita punya tekad yang tinggi. Namun di balik itu, hati ini terasa pedih bagaikan Cinta yang akan ditinggal Rangga ke negeri “Paman Sam” dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Bukan apa-apa, namun saya sangat mengetahui latar belakang kawan saya ini. Jika memang banyak ‘mahasiswa nakal’ yang suka memakai uang bayarannya untuk kegiatan lain (lihat beritanya di sini), maka saya jamin kawan saya ini bukan tipikal seperti itu.
Keresahan kita bersama, bertepatan dengan masih hangatnya nuansa Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. Meski bersinggungan, namun secara orientatif kita adalah pemuda juga. Masihkah sumpah tersebut terasa kentara dalam diri kita?
Bisa iya, bisa tidak.
Sumpah Pemuda yang kini bertransformasi menjadi “sumpeh lo?” ini, mulai kehilangan maknanya. Hal tersebut saya lihat dari sisi kita, kaum mahasiswa; semakin kita apatis dengan kondisi sekitar, semakin sumpah tersebut akan menjadi luntur.
Kesimpulannya, kita semua punya hak untuk berkomitmen pun bersumpah atas kasus pembayaran di atas.
Jika memang kondisi birokrat kampus sukar untuk kita rubah, maka setidaknya saya bersumpah: selama menjadi mahasiswa, saya akan melindungi, menjaga, dan memperjuangkan hak sesama mahasiswa untuk tetap nyaman daam menjalani perkuliahan.
Lantas, apa sumpah pribadi kawan-kawan sendiri?
*Penulis adalah Pemimpin Umum Pers Suara Mahasiswa