
Wisudawan mengabadikan foto usai acara di lapang voli, Jalan Tamansari No.1, Kota Bandung pada Sabtu (25/8/2018). (Puspa/SM)
Oleh Shella Mellinia Salsabila
Wisuda, suatu istilah yang tentunya sangatlah akrab ditelinga para mahasiswa. Setelah sekian lama menghabiskan waktu di perguruan tinggi, wisuda menjadi hadiah manis yang menggantikan semua kerja keras yang telah dikerahkan untuk mengejar ilmu. Momen singkat yang istimewa itu seakan menjadi klimaks dalam kehidupan yang sangat di idam-idamkan oleh para pemuda-pemudi.
Saat wisuda, dengan tubuh ‘berselimutkan’ toga para calon sarjana pun berjalan menuju tempat yang telah disediakan. Kemudian dengan penuh kebanggaan, rektor menggeserkan tali topi toga ke arah kanan sebagai pertanda mahasiswanya telah siap terjun ke lingkungan masyarakat sebagai perubah bangsa. “Bangganya diriku memiliki kesempatan untuk melepas calon perubah bangsa yang akan segera merubah dunia yang semrawut ini,” ucap sang rektor dalam hati.
Selepas prosesi wisuda, momen bahagia para sarjana pun ‘tak berhenti disitu. Perayaan-perayan kecil menjadi babak lain bersama teman atau keluarganya di lahan kosong yang tersedia di Kampus. Mulai dari confetti, topper, balon-balon helium berwarna, bucket bunga, hingga cemilan-cemilan menjadi pelengkap dalam perayaan kecil itu. Berfoto dan boomerang ria dengan aksesoris-aksesoris tersebut pun seakan menjadi suatu keharusan dikala pagelaran pasca wisuda.
Dengan banyaknya aksesoris yang dibawa oleh masing-masing rombongan, ‘tak dipungkiri setelah acara tuntas akan dengan mudah kita temukan sisa-sisa sampah bekas perayaan, tanpa memikirkan siapa yang akan membersihkannya. Mereka pulang hanya membawa gelaran yang menjadi prestise keluarga tersebut.
Seperti yang belum lama ini terjadi di Universitas Islam Bandung (Unisba) pada Rabu (7/8). Seusai sidang sarjana, tangga batu yang berlokasi di gedung Unisba Tamansari dipenuhi dengan sampah perayaan. Sampah – sampah tersebut berupa hadiah, bekas makanan, serta ucapan kelulusan yang diberikan oleh kerabat mahasiswa yang telah melaksanakan sidang sarjana.
“Sedih, jadi gelar sarjana buat apa?”
“Abis lulus jadi sampah masyarakat.”
“Jadi prihatin.”
“Lupa sama 3M.”
“Yang katanya [mahasiswa].”
Yah, kurang lebih begitulah celoteh netizen menghiasi kolom komentar salah satu postingan Instagram Suara Mahasiswa “Usai Sidang Sarjana, Sampah Hiasi Tangga Batu” pada Kamis (8/8).
Imbas dari kejadian tersebut, pagelaran wisuda mahasiswa Fakultas Psikologi yang di gelar pada Kamis (22/8) pun dihiasi dengan note tulisan yang tertempel di dinding gedung aula Hj. Kartimi Kridhoharsojo dengan bunyi “Habis Wisuda, Jangan Nyampah”. Tidak diketahui siapa orang yang memasang pesan tersebut, namun tentunya hal itu harus menjadi tamparan agar setelah wisuda kita tidak membuang sampah secara sembrono.
Ucapan “gelar diincar, sampah dipencar”, dirasa cocok untuk menggambarkan situasi tersebut. Sikap seseorang dengan gelar sarjana yang seharusnya dapat menjadi panutan, nyatanya tidak tergambar dari moralnya.
Lantas, Bagaimana menjadi mahasiswa yang dapat mempertanggungjawabkan gelarnya? Harus mulai dari mana kita berubah?
Bukan sistem, bukan kampus, apalagi pekerja bersih-bersih di kampus yang mesti diubah. Agaknya perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Belum cukupkah slogan “buang sampah pada tempatnya” mengiang selama 12 tahun sekolah?
Menjadi mahasiswa bukan hanya untuk mencari prestise dan gelar. Untuk apa menjadi seorang sarjana, bila moral saja ‘tak kalian bina?
Setidaknya marilah kita mulai dari yang terkecil, biasakan buanglah sampah pangan sehabis jajan kepada tempatnya. Berangkat dari hal kecil itu, ayo kita bersama-sama berhenti buang sampah sembarangan. Dengan begitu, insya Allah, kejadian seperti sebelumnya tidak akan terulang lagi.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unisba 2018