Ilustrasi mahasiswa yang ingin menjadi pembaharu (Muhammad Khaira Faiq/SM)
Oleh Novanda Jessa
Dalam pengalaman saya, pembaharuan seringkali disalahartikan. Untuk itu, saya akan memulai tulisan saya dengan membahas kesalahpahaman yang masih terjadi. Menggunakan gagasan “Serikat Mahasiswa Unisba” sebagai contoh dari fenomena yang terjadi selama kurang lebih 730 hari hingga saat ini. Pembaharuan tersebut dapat dilatarbelakangi susana dari muatan yang berlaku telah lanjut usia dan diwariskan tentu saja oleh “kejayaan agung terdahulu” (absolutely splendid ancestors).
Saat tulisan ini dibuat, fenomena selisih paham akan relevansi atas tantangan zaman pengaturan organisasi mahasiswa yang telah ada, masih bergulir diperbincangkan dan menjadi cemas. Merespon atas kebimbangan yang terjadi, bagaimanapun pembaharuan merupakan sesuatu yang diperlukan serta tumbuh secara alamiah dalam nadi semangat tiap-tiap dari kita. Namun faktanya, pembaharuan tersebut merupakan sesuatu yang masih anyar dan sampai saat ini masih naif untuk dilaksanakan secara komprehensif.
Lalu apa sebenarnya pembaharuan itu? Jika kita mempelajari tentang sejarah peradaban, maka dapat dikatakan bahwa pembaharuan bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama“ (common project) untuk masa kini dan masa depan. Proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan pribadi sejati, bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa beberapa pembaharu, merasa seolah-olah mereka memiliki hak untuk menjegal gagasan sesama insan pembaharu. Justru, mereka seharusnya memiliki keberanian jika nanti mereka akan dikucilkan dan diasingkan demi kebebasan dan kebahagiaan atas kemajuan sejati.
Pembaharuan itu dapat muncul di dalam lingkungan bersosial, ketika para insan mahasiswa mulai merasa mereka memiliki sebuah tujuan dan masa depan bersama atau ikatan rasa persaudaraan yang dalam. Biasanya, perasaan itu muncul secara cepat dan begitu saja pada sebuah generasi, sebagai suatu penanda hadirnya sesuatu yang baru. Kita dapat melihat betapa gagasan terpikat begitu lekat dengan harapan untuk masa depan yang sentosa dari kegamangan generasi penerus.
Namun, pertaruhannya apakah gagasan mengenai “masa depan organisasi mahasiswa“ kita akan cukup mengakar pada jiwa semua warga organisasi yang jika perlu, tiap warga organisasi selalu siap menyingkirkan ambisi personal dan mendedikasikan kesetiaannya pada gagasan besar tersebut. Taruhan ini dapat dimenangkan dalam jangka waktu yang panjang. Sebaliknya, hal tersebut dapat diraih dalam waktu yang relatif singkat apabila warga organisasi cukup terbuka pikirannya dan berhati besar untuk menerima keberagaman, menentukan kesepemahaman yang terukur.
Sebagai tunjangan problematika aktual, masih banyak warga organisasi yang cenderung berpikir “budaya keorganisasian” sebagai sebuah “warisan“ semata, bukan sebagai sebuah tantangan atau sebuah proyek bersama. Dimana seseorang memiliki warisan dan pewaris yang mana perselisihan pahit sering kali muncul diantara mereka dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk mewarisinya.
Hal tersebut telah memberikan kita bukti yang cukup, mengenai sebuah kondisi persatuan yang tercecer karena adanya warga organisasi yang berhati cekak dan berpikiran parokial, belum lagi keinginan yang berlebihan untuk berkuasa atas sesamanya.
Salam Kebestarian.
Penulis merupakan Demisioner Dewan Amanat Mahasiswa Unisba 2019/2020.