Foto seorang wanita paruh baya bersama anaknya yang sedang memegang karung berisi botol plastik bekas di tengah kerumunan massa aksi tolak kenaikan BBM di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, pada Selasa (13/9). (Foto: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba- “Naik, naik, BBM Naik. Tinggi, tinggi sekali” Begitulah nyanyian para massa aksi di tengah berlangsungnya orasi. Tepat pada Jum’at, (16/9) Aliansi Mahasiswa Jawa Barat melakukan aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan BBM ini memang terasa cukup mencekik, khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah.
Sementara itu, di tengah keramaian mahasiswa melakukan aksi, kedua mata saya tertarik melihat seorang pria yang cukup berumur sibuk memungut botol bekas tanpa merasa takut sewaktu-waktu muncul bahaya dari kericuhan, dorongan, atau bahkan gas air mata. Penampilan sederhana tanpa memiliki keamanan untuk perlindungan diri di tengah massa, cukup membuat saya merasa khawatir. Saya pun menghampiri pria tua itu.
Namanya Dede Muhajidin, sosok pria tua yang sedang sibuk sendiri di tengah kerumunan massa. Matanya fokus mencari, tangan kanannya tak henti mengambil, pun tangan kiri yang tetap setia menggenggam plastik besar berisikan botol-botol bekas. Saat mencoba untuk berbincang dengannya, saya malah terkejut ketika ia malah mengarahkan saya ke sebelah kirinya. Tak jauh dari posisinya yang sedang mengambil botol bekas itu, terlihat seorang wanita paruh baya dan seorang anak yang duduk bersebelahan di trotoar jalan.
Mereka adalah istri dan anak Dede yang turut menemani mengumpulkan botol bekas sedari pagi. Sesampainya saya di hadapan keluarga kecilnya, Dede berucap, “Saya sedang mencari botol bekas, ngobrolnya dengan istri saya dulu ya.” Pikir saya, pria tua ini memang sedang sibuk dengan kegiatannya sehingga tidak ingin diganggu. Tapi tak apa, saya senang dapat berkenalan dengan keluarga kecil Dede.
Istrinya, Sri Wahyuni dengan leluasa menceritakan keluh kesahnya kepada saya seolah sedang melepaskan beban. Sri mengaku kegiatan mencari botol bekas ini merupakan satu-satunya mata pencaharian yang bisa mereka lakukan. Di tengah ekonomi yang sulit dan keputusan pemerintah terhadap BBM yang naik, membuat kebutuhan pokok juga turut mengalami kenaikan. Hal itu membuat keluarga Dede merasa tercekik dengan keadaan.
“Ya kepengen mah neng jangan segala mahal, kalau segala mahal kebutuhan sehari-hari nggak bisa dibeli. Makan juga kalau ada yang ngasih. kalau nggak, ya puasa.” Tutur Sri saat diwawancarai pada Jumat, (16/9).
Ia juga mengatakan sudah sedari pagi berada di kawasan tempat aksi bersama anak dan suaminya. Namun hingga sore hari, tak banyak botol bekas yang mereka dapat kumpulkan, padahal dengan demo ini mereka berharap akan ada banyak botol bekas yang bisa mereka jual. Apalagi kini semenjak BBM naik, harga kiloan botol bekas menjadi turun seribu rupiah perkilonya.
Sementara itu, pendapatan yang mereka dapati hanya sekitar 20.000 – 30.000 rupiah saja. Berbanding jauh dengan tanggungan mereka yang tak sedikit jumlahnya, contoh biaya untuk tempat tinggal saja harus mereka cicil sebanyak 500.000 per bulan. Sri juga sempat mengeluh kebingungan, karena dua bulan kedepan tempat tinggal mereka akan ada penggusuran. Hal ini yang menjadikan mereka berani menanggung risiko dalam mencari upah di tengah ramainya demonstrasi.
Selain itu, selama Sri bercerita kepada saya, suara dari mahasiswa yang turut hadir di depan gedung DPRD Jawa Barat terus menggema, menyerukan aspirasi yang mereka bawa. Teriakan demi teriakan, keluh kesah keluarga kecil Sri, sesuatu yang erat saling berkaitan. Rasanya, pemerintah harus membuka mata dan hati nya lebar-lebar terhadap kalangan ekonomi bawah. Keadaan mereka sudah sulit, kelakuan pemerintah malah makin membuat mereka semakin menjerit.
Reporter: Fatmah Al-Hulaibi
Penulis: Reza Umami
Editor: Tsabit Aqdam Fidzikrillah