
Ilustrasi kegiatan kongres Keluarga Besar Mahasiswa Unisba (KBMU) yang tidak khidmat. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama empat hari secara dalam jaringan (daring) mulai dari Minggu hingga Rabu (12-14/12/2021). (Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM)
Oleh Reza Umami
Suaramahasiswa.info, Unisba – Kongres akhir periode Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Bandung (Unisba) telah dilaksanakan pada Minggu hingga Rabu (12-14/12) lalu. Kegiatan rutin tiap tahun tersebut dilakukan sebagai tanda berakhirnya masa kepengurusan dan momen pertanggungjawaban kinerja kepengurusan mereka. Namun sayangnya, dalam pelaksanaan kongres kali ini jauh dari kata khidmat.
Saat kongres berlangsung, bukan hanya diwarnai dengan heningnya peserta forum online yang jumlah perwakilan Organisasi Mahasiswanya (Ormawa) hanya sedikit. Tapi, Presiden Mahasiswa (Presma) yang terlambat hadir saat pembacaan Lembar Pertanggungjawaban (LPJ) hingga menyebabkan ditundanya sidang dan wakilnya yang hadir saat sedang melaksanakan koas pun menjadi sorotan.
Hal ini menjadi tanda tanya besar, kemana perginya Ormawa yang tidak hadir dalam acara ini? Bagaimana mungkin sebuah kongres dilaksanakan dalam kondisi mereka yang tidak siap?
Padahal, kegiatan tersebut membutuhkan partisipan yang fokus dan aktif, sebab jika dilihat dari fungsinya kongres merupakan wadah penampung kesepakatan bersama untuk kehidupan Ormawa Unisba selanjutnya.
Seharusnya, meskipun kongres diadakan secara online pak Presma sebaiknya tidak tiba-tiba hadir sambil menyetir kendaraan karena itu sangat berbahaya bagi keselamatan nyawa anda. Atau pak wakil yang hadir kongres sambil mencuri waktu di sela-sela koas, hati-hati nanti salah bedah pula.
Kegiatan online memang identik dengan “bisa dimana saja”, tapi apakah sekelas kongres dapat disamakan? Jika iya, maka izinkan saya bertanya, apa sih kongres menurut tuan dan puan?
Bagi saya, tidak ada perbedaan yang signifikan pada kongres kampus, kongres nasional, atau kongres internasional sekalipun. Karena pada dasarnya kegiatan tersebut merupakan sebuah pertemuan besar para wakil organisasi untuk berdiskusi secara sakral. Misalnya, kongres pemuda pada 28 Oktober 1928 atau yang kita kenal sebagai sumpah pemuda, dulu dilaksanakan dengan khidmat dan tata krama yang dipatuhi seluruh peserta hingga membuahkan trilogi pemuda.
Selain suasana kongres yang tidak khidmat, rasa miris pun muncul ketika Presma terlalu banyak minta maaf di dalam forum karena kekurangan dari kinerjanya. Apa hanya maaf saja yang bisa diberi pada akhir periode dengan alasan masa kepemimpinan sudah berakhir?
Walaupun sadar LPJ jauh dari kata sukses tapi kenapa ya tetap diterima? Padahal LPJ merupakan lembar bukti kinerja dalam menjalani kepengurusan selama periode yang sudah ditentukan, sudah baik atau belum?
Kalau baik ya, diterima. Kalau tidak, seharusnya tolak saja.
Nyatanya roda organisasi kali ini layaknya komedi, kinerja buruk dapat dengan mudah diterima seperti membalikan telapak tangan. Seolah tanggung jawab selama kepemimpinan periodenya tidaklah penting, lalu untuk apa gunanya kongres, LPJ, dan organisasi? Sebagai bentuk formalitas dalam keorganisasian?
Bahkan Dewan Amanat Mahasiswa Unisba (DAMU) harus menjelaskan pemahaman tentang LPJ di tengah-tengah kongres berlangsung, semakin meyakinkan opini saya bahwa kongres memang mengalami pergeseran makna disini. Sebenarnya kehidupan organisasi di Unisba saat ini itu gimana? Hampir mati atau sudah mati?
Katanya, ikut organisasi itu melatih kepemimpinan dan tanggung jawab. Tapi kongres yang sudah berlangsung kemarin, seperti memperlihatkan “Begini lah kehidupan organisasi di Unisba saat ini”. Sudah tidak seksi lagi jika harus dibayangkan. Seperti sudah tidak mampu lagi menelurkan para pemimpin yang bertanggung jawab. Tapi, semoga saja dugaan saya salah.
Saya jadi teringat dengan kutipan Soe Hoek Gie untuk kaum intelijen, “.. mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya, apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelegensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan.”
Penulis merupakan pengurus Pers Suara Mahasiswa.