Hikayat ‘Peduli-Tidak Peduli’ di Perguruan Tinggi
[nk_awb awb_type=”image” awb_image=”15204″ awb_image_size=”full” awb_image_background_size=”cover” awb_image_background_position=”50% 50%” awb_parallax=”scroll” awb_parallax_speed=”0.5″ awb_parallax_mobile=”true” awb_mouse_parallax=”true” awb_mouse_parallax_size=”30″ awb_mouse_parallax_speed=”10000″]
[/nk_awb]
TEKS RIFKA SILMIA SALSABILA (PEMIMPIN UMUM PERS SUARA MAHASISWA 2017-2018)
Selasa (6/3) seorang teman dari kampus ungu memberi kabar, ada pemecatan pegawai, pencabutan hak liputan pers kampus dan pemberhentian kegiatan organisasi mahasiswa di kampusnya. Satu kata yang terpintas dalam pikiran, kenapa? Untuk mengetahui jawabannya tentu butuh banyak konfirmasi, mari kita doakan saja teman-teman di sana agar dapat menyelesaikan masalah secepatnya.
Permasalahan di atas memang sudah lumrah terjadi di sebuah perguruan tinggi, tapi bukan berarti ke-lumrah-annya itu dapat dibiarkan begitu saja. Ketika terjadi hal demikian, sudah seharusnya para civitas akademika mempertanyakan alasan yang jelas dari kebijakan yang dibuat. Bukan apa-apa, transparansi wajib dilakukan demi mengurangi masalah-masalah dalam sebuah lembaga pendidikan.
Mahasiswa menjadi yang paling vokal dalam meminta transparansi sehingga demokrasi pun kerap terjadi. Cara demikian sering menimbulkan pro dan kontra, ada yang menganggap hal tersebut sebagai langkah efektif agar aspirasinya didengar oleh pihak yang bersangkutan. Namun, ada pula yang menilai demonstrasi hanya akan membuang tenaga dan memilih cara lain, misal audiensi.
Terlepas dari apapun caranya, itu semua merupakan bentuk dari kepedulian terhadap kampusnya sendiri. Di sisi lain, ada istilah apatis yang menggambarkan orang-orang tak acuh terhadap masalah tadi. Kata apatis sendiri bermakna serupa dengan ‘tidak peduli’ atau ‘masa bodoh’.
Kampus biru pun tidak terlepas dari berbagai masalah seperti di atas, entah itu terjadi di mahasiswa ataupun dari pihak universitas. Suara Mahasiswa pun kerap kali meliput berita tentang mahasiswa yang memberikan beberapa tuntutan kepada rektor. Di awali dengan BEMU yang mengadakan malam keakraban pada 10-11 Mei 2017 lalu, dengan membahas beberapa permasalahan di Unisba dengan pihak universitas.
Selepas acara tersebut, mahasiswa pun tetap menunggu solusi dari pihak universitas. Tak kunjung memberikan perubahan, para mahasiswa yang mengatasnamakan Keluarga Besar Mahasiswa Unisba (KBMU) pun meminta pihak universitas untuk melakukan audiensi. Memang sepatutnya mahasiswa tidak diam jika ada yang keliru dengan kampusnya. Namun semua permasalahan harus menghasilkan solusi bersama. Tidak hanya menuntut dan menuntut.
Belum sampai di situ, gelaran acara Ekspo sebagai salah satu program kerja BEMU dengan tujuan memperkenalkan organisasi, sempat dipertanyakan urgensinya. Pasalnya, acara tersebut idealnya dilakukan tak jauh dari ta’aruf tetapi baru digelar saat mahasiswa sudah memasuki semester dua. Jika tidak ada yang mengkritik keterlambatan tersebut, tidak akan ada evaluasi bagi BEMU dan kesalahan serupa bisa saja terulang.
Kata apatis sering kali dikaitkan dengan konotasi negatif, misalnya apatis terhadap perlawanan kebijakan kampus yang mencekik pihak-pihak tertentu atau apatis terhadap keberlangsungan dinamika organisasi kampus. Unisba pernah mengalami aklamasi presiden mahasiswa (presma). Hal itu pun dianggap sebagai dampak apatisme mahasiswa. Usai periode presma hasil aklamasi, pemilihan umum (pemilu) pun digelar kembali. Beruntung, kejadian ‘calon tunggal’ presma tidak terulang lagi. Nama Priyo Puji Laksono pun keluar menjadi pemimpin baru. Apakah hal tersebut bisa dibilang mahasiswa sudah tidak apatis?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, apatis artinya ‘tidak peduli’ atau ‘masa bodoh’. Makna itu pun sangat luas dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sekarang coba posisikan diri menjadi seseorang yang rajin masuk kelas saat kuliah. Ketika melihat teman sekelas jarang mengikuti perkuliahan, mereka apun dijuluki apatis. Ya, masa bodoh dengan presensinya di kelas.
Terhitung dari pertengahan 2017 sampai pertengahan 2018, masalah di Kampus Biru akan selalu bermunculan. Hanya dengan kepedulian, maka solusi pun akan ada untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Dalam proses menemukan solusi, tidak jarang ada pergesekan. Namun, itu hal yang wajar karena membuktikan masih ada yang peduli dengan universitas berlambang Ka’bah ini.
Dari beberapa cerita di atas, terlihat semua orang pasti peduli-tidak peduli terhadap hal-hal tertentu. Bisa dibilang apatis itu sifatnya relatif, seperti keindahan fisik seseorang yang tidak mutlak diukur dengan satu sudut pandang. Dinamika tersebut pun sangat terasa di kehidupan perguruan tinggi. Pada akhirnya, jangan sampai kita disibukkan dengan menentukan ke-apatis-an seseorang, sehingga melewatkan hal-hal yang lebih penting untuk diatasi. Jangan sampai lupa juga untuk saling mengingatkan dan menyadarkan akan permasalahan yang terjadi di sekitar kita.
Dalam rangka peduli terhadap lingkungan sekitar, majalah edisi kali ini akan menyuguhkan pandangan lain tentang apatisme. Dengan harapan, menilai ketidakpedulian seseorang bukan menjadi fokus utama. Melainkan, menggunakan perbedaan sudut pandang untuk menyatukan kekuatan dalam mencari keadilan.