Poster Parasite. (Foto/Pinterest)
Suaramahasiswa.info – Tahun ini, industri film Korea kembali melahirkan salah satu karya terbaiknya dan menjadi sorotan dunia. Tepat 100 tahun perfilman korea, sutradara Bong Joon-ho berhasil mencuri perhatian para penikmat sinema lewat film Parasite. Tak hanya itu, ia pun berhasil mendapat Piala Palem Emas alias Palme D’Or Festival Cannes 2019 berkat film ini.
Parasite merupakan sebuah film bergenre tragicomedy yang ‘menyentil´ kesenjangan sosial yang kian hari makin membuat jarak tajam antara si kaya dan si miskin. Menceritakan dua buah keluarga dengan perbedaan kelas mencolok. Di perankan oleh aktor kenamaan Korea Selatan Song Kang Ho, Less SunKyu, Cho Yeojong, Choi Wooshik, Park So-dam, Jang Hye-jin, Jung Ziso, dan Jung Hyeonjun.
Yang membuat menarik disini adalah kapitalisme dan hierarki kelas sosial yang dikritik tajam lewat sajian elegan tiap adegannya. Meski menyangkut hal yang sama, adanya perbedaan cara pandang hidup dan bagaimana menjalaninya antara si miskin (Song Kang-Ho) dan si kaya (Lee SunKyu). Misalkan, cara mereka memaknai hujan dalam film ini. Bagi si kaya hujan adalah hiasan yang akan mempercantik suasana santai. Sedangkan bagi si miskin hujan berarti banjir, kedinginan dan mengungsi.
Akting apik pemain, penyutradaraan elegan dan cinematography ciamik membuat film ini terasa jauh dari kenyataan namun ternyata memang ada dalam keseharian. Entah dalam versi lebih kejam atau halus namun tanpa sadar menyakiti. Terlihat hanya ada dilayar, tapi mampu menelisik masuk menyadarkan pikiran kapitalis kita. Menyindir cara masyarakat berpikir selama ini dan diam – diam membuat kita bungkam tak bisa membela diri. Benar dan salah menjadi tidak berarti. Ini akan menambah caramu melihat dunia dari sisi berbeda.
Satu jam awal, kita dibuat menertawakan kesengsaran si miskin dan kebodohan si kaya. Sedangkan satu jam terakhir, kamu akan dibuat diam. Kemudian hanya bisa menunggu kemana alurnya akan mengalir tanpa bisa menebak.
Ketika alur cerita mulai menanjak dan prasangka kita telah liar, tiba – tiba kamu akan dibuat terjun untuk kembali memulai dari awal. Dipertengahan cerita keributan kembali tenang dan tiba-tiba emosimu ditekan habis – habisan. Hal tersebut terus terulang seperti menaiki rollercoaster. Sampai kamu ‘lelah’ berprasangka dan hanya menikmati sajian terakhir dari film ini.
Percaya deh, kalau mau main tebak – tebakan sama film ini nggak akan menang! Alur nya sangat jahil dan penuh sihir. Berprasangka malah akan membuat mentalmu lelah sepanjang nonton dua jam. Jadi lebih baik duduk manis, dan nikmati saja.
Seperti kutipan terkenal dari film ini,
“ Rencana terbaik adalah tidak memiliki rencana.”
Jangan memiliki rencana mencoba menebak dan berekspektasi pada film ini, karena percuma. Pokoknya selama nonton jangan sampai kamu lengah. Karena tertinggal sedikit saja, kamu akan kehilangan timing saat melahap lezatnya sajian film.
Minus dalam film ini, terkadang beberapa adegan hadir dengan metafora dan filosofi tersendiri. Sebagai penonton, kita tidak diizinkan untuk hanya mentah – mentah melahapnya. Kesederhanaan yang tersaji dalam tiap adegan seperti jebakan, yang sebenarnya menuntut kita untuk berpikir lebih jauh.
Penulis: Verticallya Yuri S.E Pratiwi
Editor: Puteri Redha Patria