
Foto: Net
Ditulis oleh: Diajeng Ayu*
“Mens Sana In Corpore Sano,” di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Sebagian dari kita pasti mengenal kalimat itu, namun sejauh manakah kalian menyayangi diri sendiri?
Menyayangi diri sendiri, kedengaran sederhana namun tanpa disadari sering terabaikan. Banyak dari kita menyadari sakit fisik seperti memar, tergores, yang reflek lekas diobati kemudian diistirahatkan. Itu penyakit fisik yang terlihat, lantas bagaimana dengan masalah psikis yang tidak terlihat tapi hanya bisa anda rasakan?
Kebanyakan orang lebih memperhatikan kesehatan fisik dibanding kesehatan jiwa. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan melalui survey cross sectional bersifat deskriptif, menunjukkan 15-30% penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan termasuk, kecemasan dan depresi berat. Angka tersebut masuk ke persoalan jiwa yang bisa disebut gangguan nyata, mudah dan jelas dikenal masyarakat. Sedangkan 70-80% adalah orang yang belum mengalami gangguan jiwa tapi sudah kita lihat fenomena sosialnya, biasa disebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).
Apa itu ODMK? Menurut UU RI No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa Bab I adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. Keberadaan ODMK dan Orang Dengan Gangguan Kejiwaan (ODGJ) kerap dipandang sebelah mata, bahkan keberadaan mereka terabaikan di tengah-tengah masyarakat.
Ketika terjun membantu masyarakat dalam memberi penanganan bersama Tim Ranger Kesehatan Jiwa wilayah Kota Bandung. Banyak sekali pemasungan yang dilakukan oleh keluarganya. Stigma negatif dan ketakutan akan perlakuan diskriminasi kepada anggota keluarganya yang terkena masalah kejiwaan dan gangguan kejiwaan, membuat mereka dikurung dan dihindarkan dari sosial.
Padahal perlakuan tersebut berlawanan dengan UU RI No 18 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Jelas tertulis di Pasal II huruf G ‘asas perlindungan’ dan huruf H asas non-diskriminasi, artinya siapa saja yang menyakiti mereka akan berurusan dengan jalur hukum. Selain itu, pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang kesehatan jiwa masih minim, serta akses konseling pada profesional seperti psikolog dan berobat pada psikiater juga tidak ada.
Apalagi tidak semua keluarga mampu secara ekonomi untuk berkonsultasi atau berobat. Padahal dengan adanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) atau Askes (Asuransi Kesehatan) bisa menjadi salah satu bantuan berobat. Selain itu, terkadang butuh usaha lebih untuk meyakinkan agar anggota keluarganya mau ditangani di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.
Dalam prosesnya, terkadang harus bersabar karena penuhnya kamar untuk pasien rawat inap. Ketika pasien dibawa ke Rumah Sakit lain yang terdapat fasilitas penanganan jiwa, fenomena ‘lempar-tempat’ kerap ditemui. Tak jarang, profesional kesehatan jiwa juga menerima pandangan sebelah mata dari masyarakat .
Jika menemukan orang yang berperilaku aneh tapi belum didiagnosis oleh psikolog atau psikiater. Jangan dulu melabelkan predikat ‘orang gila’. Ingat UU RI No.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sudah berlaku. Salah ucap dan ada yang melaporkan bisa jadi terkena pasal dan dipenjara. Mengapa demikian?
Penegakan diagnosis sendiri tidak sembarangan karena harus dilakukan secara multiaksial dengan mempertimbangkan lima aksis. Berdasarkan buku panduan PPDGJ III dan DSM V lima aksis tersebut yaitu, (I) Gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus perhatian; (II) Gangguan kepribadian dan retardasi mental; (III) Kondisi medis umum; (IV) Masalah psikososial dan lingkungan; dan (V) Penilaian fungsi secara global.
No judge! Mental tiap orang tentu berbeda. Usia asli (chronological age) berbeda dengan usia mental (mental age). Usia seseorang bisa 17 tahun tapi cara berpikirnya bisa seperti usia 25 tahun atau sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi pola asuh, proses belajar dan pengalaman setiap individu. Karena itu, dalam menanggapi suatu permasalahan pun berbeda-beda.
Jadilah pendengar yang baik bagi mereka yang punya masalah, biasakan No judge by its cover. Setiap orang ingin dipahami dan dimengerti. Untuk mereka, dengan kita ada disampingnya dan mendengarkan merupakan bantuan yang luar biasa bagi hidupnya. Buka mata hati kita, beri kasih sayang pada diri sendiri juga sekitar. Artinya kita sudah peduli pada jiwa sendiri, bisa jadi telah menyelamatkan hidup seseorang yang sebenarnya membutuhkan dukungan secara psikis. Siapmemulainya dari sekarang? Kalau bukan kamu, siapa lagi? Kalau bukan detik ini, kapan lagi?
Because there is no health without mental health.
Salam Sehat Jiwa
*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi 2013 Unisba, Duta Kampus Unisba, serta Kepala Divisi Humas dan Medinfo YPSI (Yayasan Peduli Skizofrenia Indonesia) Simpul Bandung Raya.