
Ilustrasi klasifikasi hijab. (Fahriza Wiratama/SM)
Oleh Laily Kurniawati
Saat ini perkembangan zaman sudah tidak mengenal batasan lagi, waktu dan wilayah seakan bukan penghalang penyebaran informasi. Tentunya semua ini berpengaruh pada banyak hal, terutama fesyen dan gaya hidup. Sebagai mahasiswa yang bergulat dengan media sosial hampir setiap hari, saya pun merasakan pengaruh dari informasi yang menerpa, apalagi dalam keseharian dan perilaku.
Sebagai seorang muslim saya tahu jika anjuran menutup aurat itu bukan hanya ditujukan kepada perempuan, laki-laki pun demikian. Namun, perempuan memiliki banyak batasan ketimbang laki-laki. Terus terang untuk berhijab 100% saya belum mampu, kalau kata orang sih namanya “berproses” tapi kata berproses itu seakan abu-abu bagi saya, proses itu apakah hanya dalam bentuk pakaian yang serba tertutup, atau dinilai dari tingkah laku?
Saya tidak ingin menjustifikasi orang berdasarkan pakaiannya, karena istilah “Don’t judge book by a cover” terngiang-ngiang di kepala saya, meskipun terkadang ada saja yang membuat saya mengiyakan stigma sosial tersebut akibat pengalaman pribadi dan lingkungan.
Melihat postingan yang sedang ramai di media kampus tentang hijab yang mencakup klasifikasi serta kebiasaannya menarik perhatian saya, terutama pada kolom komentar yang banyak menyatakan kontra dari golongan mahasiswa berhijab lebar, meskipun hal itu diambil dari sumber ilmiah.
Disana dinyatakan jika mahasiswa berhijab lebar cenderung tidak banyak berbicara dan tidak tertawa terbahak-bahak, jarang nongkrong, berkelompok serta tertutup. Menurut pengalaman saya hal itu ada benarnya, saya pernah memiliki beberapa teman seperti itu. Ketika bertemu di jalan mereka sering kali terlihat seolah-olah tidak melihat saya, saya agak bingung tapi mencoba untuk memaklumi mungkin sedang menundukkan pandangan.
Namun karena merasa kenal dan satu kelas, akhirnya saya sapa, tapi kadang responnya agak kurang mengenakkan. Alih-alih dia melempar senyuman balik, malah terkadang saya yang jadi canggung. Tetapi perlu saya acungi jempol untuk masalah ibadah memang nomor satu, bahkan kadang saya ke-triggered untuk sholat diawal waktu karena melihat orang sholat, atau lebih mengecilkan suara ketika berbicara dan tertawa.
Saya pun berbincang dengan teman sekelas, namanya Azizatul Karimah, seakan bertukar pandangan, perempuan penyuka korean pop (K-POP) itu pun berujar bahwa lebih nyaman berteman dengan orang yang memiliki gaya atau pakaian serupa dengan nya.
“Engga ada maksud apa-apa. Dulu aku punya teman yang syar’i dan fanatik jadi suka maksa untuk ikut ngaji ke mana-mana.” Katanya.
Perbincangan selanjutnya terjadi antara saya dan teman Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tanpa sengaja kembali bertemu di kampus biru ini. Namanya Disa Fauzana, percakapan mengalir hingga Disa bercerita kalau dirinya lebih nyaman bergaul dengan orang-orang yang berada pada lingkup pakaian hijab semi dan hijab gaul karena kepribadian yang dimiliki tidak jauh dengan nya. Namun ia memandang mahasiswa dengan hijab syar’i lebih menjalankan syariat agama,
“Jadi ilmunya lebih dalam dan diamalkan, bagus sih daripada orang yang suka maksain banget pakaiannya jadi keliatannya ngebungkus kaya lontong.”
Hal itu tentunya cukup menggelitik. Tapi balik lagi pada hakikat nya, bukan ingin menyalahkan atau membenarkan, nyatanya hal tersebut selalu ada di lingkungan mana pun.
Bukan hanya tentang klasifikasi hijab lebar yang menarik perhatian saya, bahkan untuk mahasiswa pada kelompok hijab semi dan gaul pun memiliki kecenderungannya tersendiri. Interpretasi gaya berpakaian seseorang terhadap gaya hidupnya tidak serta merta terbentuk begitu saja, hal ini didukung pula oleh produsen dalam menciptakan sebuah produk sebagai ajang untuk merefleksikan diri si pemakainya.
Simplenya, seseorang yang tomboy kerap kali kita temui dengan jeans, kaos dan kemeja. Sedangkan seseorang yang feminim lebih senang mengenakan rok dan baju berjenis blouse. Dari interpretasi diri tersebut berpengaruh juga pada pembentukan lingkaran pergaulan, melihat dari kebutuhan sosial individu seseorang cenderung lebih senang bergaul dengan orang yang sama dengan dirinya, karena ia akan merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok.
Jadi bisa disimpulkan bahwa setiap orang yang memiliki kesamaan dengan kelompoknya bisa memunculkan interpretasi bahwa kelompok tersebut juga memiliki minat dan kebiasaan yang sama. Entah pakaian, cara bicara, tempat berkumpul, atau yang lainnya bisa dilabeli sebagai hal yang serupa pula.
Selain itu, pakaian pun digunakan sebagai simbolik tersendiri bagi seseorang. Salah satu teman saya mengatakan jika alasannya berhijab karena memang dia merupakan seorang muslim, namun hal itu tidak bisa dikaitkan dengan karakter karena bisa jadi seseorang yang berhijab gaul atau mengikuti tren mempunyai ilmu yang lebih tinggi, pun sebaliknya.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2018.