Sosok Velmariri Bambari dengan kruk yang membantunya berjalan mendatangi rumah-rumah korban kekerasan seksual di wilayahnya. (Ilustrasi: Muhammad Irfan/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Lahir dari lingkungan adat yang memberikan hukuman tidak adil bagi kasus kekerasan seksual, membuat seorang ibu rumah tangga ini memiliki gejolak untuk memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual. Velmariri Bambari namanya, seorang pendamping korban kekerasan seksual di daerah Lembah Bada, Desa Gintu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Di daerahnya, sanksi adat ‘cuci kampung’ akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang dianggap telah mengotori nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah tempat Velma (Sapaan akrabnya) tinggal. Menurut hukum adat ini, kekerasan seksual dianggap sebagai perbuatan zina, karenanya pelaku maupun korban akan dikenakan sanksi yang sama.
Pada tahun 2014, Velma pernah bergabung di lembaga pemberdayaan perempuan bernama Institut Mosintuwu, dan menjadi bagian dari tim Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA). Dari lembaga itulah ia mendapatkan ilmu berupa pelatihan perlindungan anak dan perempuan. Institut Mosintuwu sendiri merupakan organisasi yang berfokus pada upaya-upaya perdamaian saat konflik dan pasca konflik di wilayah Poso juga sekitarnya.
Berbekalkan ilmu dari organisasi tersebut, pada tahun 2018 dia memberanikan diri memulai perjuangannya dengan membuka dialog ke pemuka adat di kampung-kampung serta sejumlah desa, mulai dari Kecamatan Lore Selatan hingga Lore Barat. Ia melakukan penyuluhan kepada tokoh karismatik yang ia temui agar kasus kekerasan seksual ini dapat digiring menggunakan hukum pidana, yaitu menggunakan Undang-Undang (UU) Perlindungan Perempuan dan Anak.
Di hadapan para tokoh itu, Velma memulai diskusinya menggunakan bahasa sederhana agar dapat mudah dipahami. Ia berusaha supaya intonasinya selalu terjaga juga menahan diri agar tidak terlalu frontal dalam menyampaikan tujuan dari diskusinya, yaitu agar kasus kekerasan seksual diproses sesuai dengan UU yang telah ditetapkan oleh negara. Selain itu, ia juga meminta akses penuh untuk bisa menghadiri proses persidangan agar dapat memastikan hak-hak korban terpenuhi.
Alasan ibu rumah tangga tersebut ingin agar pelaku pemerkosaan digiring menggunakan hukum pidana adalah karena ia menilai hukum adat ‘cuci kampung’ yang digunakan di wilayahnya sebagai hukuman bagi kasus kekerasan seksual tidak adil bagi korban. Bahkan, banyak pelaku dari kekerasan seksual ini menjadikan hukum adat sebagai tempat berlindung untuk menghindari hukum pidana.
Bukan hanya tidak adil, korban juga akan dirugikan oleh tradisi dari hukum adat ini karena harus membayarkan denda dari kasus yang dialaminya. Oleh karena itu, Velma mencari celah, agar tradisi yang telah menengkel ini disudahi. Menurutnya, para pelaku yang sudah disanksi masih saja mengulangi perbuatannya pada korban yang sama. Kehidupan perempuan serta anak-anak di Lembah Bada tidak akan aman, mereka akan terus merasa dalam intaian predator seksual.
Keterbatasan fisik akibat kecelakaan saat ia berusia 18 tahun tidak menjadi penghalang untuk terus berjuang. Dengan kruk yang ia gunakan untuk membantunya berjalan, ia mendatangi rumah-rumah dari korban kekerasan seksual di wilayahnya. Dirinya merasa bahwa seringkali penderita difabel sepertinya dipandang tidak berguna dan menjadi beban dalam masyarakat. Karena pandangan itulah ia ingin terus mengkampanyekan mengenai kekerasan seksual agar dapat berguna bagi masyarakat lain.
Kasus pertama yang ditanganinya adalah kasus pemerkosaan remaja berusia 15 tahun yang dibawa lari oleh pria asal Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Pada tahun 2019, Velma menangani kasus keduanya. Korban merupakan murid Sekolah Dasar (SD) berusia 11 tahun. Pemerkosaan terjadi dua kali, yaitu pada bulan April dan Juli. Kasus ini baru terungkap pada bulan November 2019. Belum selesai dengan satu kasus, sudah muncul lagi kasus yang baru.
Menjadi seorang pendamping tidaklah mudah, ia seringkali harus berhadapan dengan pelaku yang termasuk ke dalam lingkaran keluarganya sendiri. Belum lagi pelaku sering mendatangi Velma untuk bernegosiasi dan menjanjikan banyak hal agar kasusnya dicabut. Semua kesulitan yang ia alami dilakukan secara ikhlas dan tanpa dibayar, Velma melakukannya karena panggilan sebagai seorang perempuan dan juga sebagai seorang ibu.
Kabar baiknya, upaya yang ia mulai sejak 2018 membuahkan hasil. Pada 2019, pemerkosaan termasuk kasus yang dikecualikan dalam sanksi hukum adat. Kasus pemerkosaan diselesaikan dengan hukum positif. Sejak saat itu, keterlibatannya mendampingi korban kekerasan seksual mulai menemukan bentuknya.
Bukan hanya mendampingi korban saat membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi saja, ia juga turut serta mendampingi dan mengawal sidang putusan pelaku oleh hakim di Pengadilan Negeri (PN). Sejak saat itu, ia menjadi orang pertama yang dihubungi oleh Polsek Lore Selatan bila ada kasus kekerasan seksual yang dilaporkan untuk mendampingi korban.
Akibat dari dobrakan dalam melawan hukum adat di wilayahnya tersebut, serta perjuangannya dalam mendampingi korban kekerasan seksual dalam menuntut hak-hak mereka, ia masuk ke dalam daftar BBC 100 Women pada tahun 2022. Velma juga menjadi satu-satunya aktivis perlindungan perempuan dan anak yang aktif mendampingi korban kekerasan seksual di Lembah Bada, Kabupaten Poso.
Penulis: Sekar Kumala Suci/Job
Editor: Tsabit Aqdam Fidzikrillah/SM