Ilustrasi seorang melakukan klarifikasi. (Ifsani Ehsan Fachrezi/SM)
Suaramahasiswa.info – Semakin banyak follower di media sosial, semakin banyak juga perhatian yang didapatkan. Ditambah kelihaian membuat konten yang handal, media sosial bisa mengubah orang biasa menjadi pusat perhatian dan bertransformasi menjadi public figure.
Nama besar public figure didapat dari jumlah pengikut media sosial yang banyak. Bila dipikir lagi, mudah sekali mendapat gelar public figure jika diukur dari jumlah pengikut. Tidak usah menjadi orang penting seperti pemerintah maupun tokoh masyarakat untuk mendapat gelar tersebut. Pertanyaannya, jika 50 persen dari jumlah pengikut itu akun palsu, apakah dia pantas jadi public figure? Atau public figure palsu?
Semakin banyak pengguna medsos yang tertarik dengan konten si public figur, semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Yap, engagement berkuasa disini. Segala cara dilakukan demi engagement rate, mulai dari hal lazim hingga tak lazim.
Cara kotor yang dilakukan public figure demi mendapat engagement tak kala mengundang kegeraman rakyat medsos. Dua faktor yang menyebabkan cara ini bekerja, pertama karena ‘khilaf’ dan yang kedua disengaja dengan berkedok khilaf.
Saya beri contoh kasus seorang ‘Youtuber’ yang membuat konten sembako berisi sampah kepada transpuan. Yakinilah jika sang kreator membuat konten tersebut dilakukan secara sadar secara akal dan rohani. Dan untuk apa ia membuat konten tersebut kalau bukan demi engagement, view, atau subscriber. Usaha ia berhasil karena beberapa saat setelah videonya tersebar luas, nama “Ferdian Paleka” menjadi trending twitter disaat itu pula.
Seperti peristiwa yang dialami beauty influencer bernama Dinda Shafay. Kontennya menjadi viral karena membuat cairan diffuser dari antiseptik dan membuat hand sanitizer yang bisa dilakukan secara mandiri. Tanpa pengetahuan mengenai bahan dan pembuatannya yang asal-alasan, justru kontennya bisa membahayakan banyak orang. Alhasil, teguran halus hingga keras banyak disematkan di sosial medianya.
Peristiwa lainnya terjadi pada Indira Kalista, media sosialnya menjadi bulan-bulanan warganet karena dianggap menyepelekan virus corona. Datang sebagai bintang tamu di channel Youtube Gritte Agatha, Indira menyebut bahwa ia tidak pernah cuci tangan dan malas menggunakan masker karena “engap” bila hidungnya harus ditutupi.
“Gue kagak pernah tuh pake masker, kalo sheet mask sering tuh, tiap hari,” Ujar Indira dengan gaya nyablak dan pede-nya.
Peristiwa yang tak kalah trending juga datang dari Sarah Keihl, seorang ‘selebgram’ yang melelang keperawanannya dengan tarif mulai dari dua miliar di akun instagram miliknya. Dalam video unggahannya, hasil lelang akan diberikan 100 persen untuk masyarakat yang terkena dampak corona. Belakangan diketahui, maksud dari lelangnya adalah bentuk sarkasme kepada orang-orang yang tidak mempedulikan kondisi pandemi. Meski begitu, terdapat juga cibiran jika aksinya hanya trik meningkatkan engangement. Sontak hal tersebut mendapatkan cibiran dan hujatan dari warganet hingga trending di twitter.
Dari sikap publik figur “demi engagement” seperti ini, saya tak asing mendengar ungkapan klise untuk menutupi kesalahannya. Simsalabim klarifikasi. Dengan mantra ‘Klarifikasi’ dijamin langsung case closed.
Ucapan maaf yang dijadikan permainan belaka membuat warganet turut geram dengan berkata,
“Public figure yang bikin stigma itu terjadi”
“Kayaknya udah konsekuensi jadi public figure deh dituntut sempurna”
“Salah sendiri pake segala cara biar konten bagus”
Beratnya gelar public figure yang disematkan kepada seorang yang memiliki pengikut yang banyak tentunya dituntut untuk berhati-hati dalam berucap. Perkataan dan perilakunya akan dianggap baik dan benar oleh pengikutnya, apalagi ketika seorang pengikutnya sudah menjadikannya sebagai panutan dalam hidupnya. Yang dikhawatirkan lagi adalah ketika seorang public figure berbuat penyimpangan, pengikutnya malah membela setengah mati. Jadi siapa yang salah? Si public figure atau pengikutnya?
Toh, sebenarnya mereka saling membutuhkan satu sama lain dalam hubungan panutan-penggemar yang baik. Memang, manusia tidak ada yang sempurna. Semuanya berbuat kesalahan, tapi ada baiknya untuk selalu memperbaiki diri.
Public figure tentu tidak bisa bertingkah seenaknya, apalagi jika berpotensi menyesatkan masyarakat. Begitu pula kita sebagai warganet harus bersikap kritis terhadap tindakan yang menyimpang. Ber-media sosial haruslah menjadi tanggung jawab bersama.
Penulis: Euis Siti Nurhayati
Editor: Ifsani Ehsan Fachrezi