Foto: Net
Suaramahasiswa.info, Unisba – Sepanjang tahun 2017, wabah penyakit Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri menyebar ke daerah Indonesia. Menurut Dokter Spesialis Anak, Herry Garna, fenomena penyakit menular ini terus meningkat. Selain itu, ia menuturkan kebanyakan orang terkena difteri karena sebelumnya tidak melakukan imunisasi.
Herry Garna menguraikan bahwa penyakit difteri itu merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri (Corynebacterium diphtheriae). Bakteri ini menginfeksi saluran pernafasan, umumnya di bagian atas. Ia menjelaskan menularnya difteri tergantung dari tingkat parah atau tidak penyakit pada manusia tersebut. Gejala pertama yang akan dialami manusia saat terkena difteri menurut Herry ditandai dengan panas yang tidak tinggi hingga munculnya selaput putih.
“Seperti pilek biasa, sakit tenggorokan, nyeri kepala, lemas, dan nafsu makan menurun. Setelah itu paling berbahaya timbul lah bercak ataupun selaput putih pada daerah tongsil, atau daerah selaput yang berwarna putih ke abu-abuan. Hal itu bisa menutupi saluran pernafasan, sehingga anaknya menjadi sesak. Lama-lama bila pembesaran kelenjar itu bisa timbul di daerah leher, nanti makin membengkak yang disebutnya Bullneck Bullitus. Itu yang sudah gejala berat,” ujarnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kasus difteri meningkat sejak tahun 2007 sampai 2015. Pada tahun 2012, terdapat 1.192 korban yang terkena penyakit ini dan menjadi yang tertinggi dibandingkan tahun lainnya. Ia mengungkapkan dari data terakhir bulan November 2017, terdapat ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri.
“Yang melaporkan itu kemungkinan belum tahu positif atau tidaknya terkena difteri. Jadi secara keseluruhan ada 622 kasus, 32 diantaranya meninggal. Provinsi Jawa Barat terdapat 123 kasus, 13 kematian yang tersebar di 18 kabupaten. Kasus terbanyak terjadi di Purwakarta dengan 27 kasus, disusul karawang dengan 14 kasus. Sedangkan untuk skala Indonesia terbanyak itu di daerah Jawa Timur, di Madura,” jelasnya saat ditemui di ruangannya pada Kamis (11/1).
Herry menjelaskan, difteri umumnya menyerang pada anak-anak. Sedangkan untuk orang dewasa sudah punya kekebalan biasanya dia akan bertahan, tetapi menurutnya setiap anak itu pun perlu di imunisasi ulang. Hal itu agar anak tersebut mempunyai kekebalan seumur hidup. Ia menambahkan, setiap 10 tahun, perlu dilakukan imunisasi ulang sampai orang tua.
Langkah pencegahan pun perlu dilakukan guna menangkal penyakit menular ini. Herri memberikan pesan agar manusia yang terkena, dapat langsung dirawat di Rumah Sakit terdekat, diisolasi dan kemudian dibatasi untuk orang yang akan masuk. “Terpenting, pengidap diberi terapi, dan diberi antiserum,” paparnya. Pemberian penerangan atau pemahaman tentang bahaya difteri pun menurut Herri perlu digalakan dengan tujuan melindungi anak terhindar dari penyakit ini.
Kejadian ini turut mengundang reaksi dari Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unisba, Irfandi Pratama. Ia menanggapi gejala dari penyakit difteri menjadi hal yang perlu diwaspadai seksama. “Saya melihat dari google gejalanya parah juga. Di Indonesia itu kasus difteri ini menempati perigkat kedua. Melihat Universitas Indonesia (UI) melakukan penyuluhan, saya harap Unisba dapat melakukan penyuluhan vaksinasi juga di kampus,” ucap mahasiswa yang baru melakukan satu kali vaksin. (Fadhis/SM)