Oleh: Hasbi Ilman H
Kau tahu siapa aku? Aku adalah manusia suci. Musuh besar para mahasiswa keparat yang selalu minta ini itu. Yang permintaannya selalu tidak logis. Yang selalu menuntut sekarang juga seperti bayi. Ah, kau harus merasakan bagaimana rasanya jadi aku.
Meskipun aku jelaskan, kau pasti tidak tahu siapa aku. Aku adalah orang yang sering duduk di kursi yang nyaman, dan jelas, tidak ada yang celah berlubang hingga mengeluarkan busa-busa menjijikan. Jika itu terjadi, pasti langsung kubuang. Sebagaimana kau tahu, untuk kursi yang baru dipakai dua bulan saja, atasanku sudah menggantinya dengan barang-barang yang lebih fresh from the pabric. Hmm. Kau harus tahu betapa wanginya kursi-kursi baru itu. tidak seperti para mahasiswa keparat yang selalu berkoar-koar di depan kantorku dan malah meninggalkan bangku kuliah keras yang telah capek-capek orang tuanya belikan.
Ya, sebagaimana teman-temanku yang lain, seragamku haruslah berdasi. Masa iya aku mau disamakan dengan para bawahanku yang tolol? Ih, enggak lah yaw! Capek-capek aku mengejar posisi strategis ini. Membutuhkan belasan tahun untuk mencapainya lho, pendidikannya juga harus tiga kali penelitian dan sidang.
Si gue ulangi sekali lagi, masa iya aku disamakan dengan mereka?
Sebagaimana kau tahu, mereka (baca: mahasiswa keparat) selalu memberontak kepadaku. Selalu tidak puas akan kebijakan-kebijakanku. Mereka tidak tahu jika aku telah membicarakan keputusan itu selama berbulan-bulan. Mereka tidak tahu betapa sulitnya brainstorming sampai terbawa mimpi. Mereka tidak tahu bahwa aku membuatnya tanpa bonus dari atasanku yang manis. Bodoh sekali mereka. Kebijakan itu kan, dibuat demi membentuk harmonisasi negara, demi kebaikan kita bersama, dan khususnya, demi kebaikanku juga.
Seperti yang telah aku jelaskan. Mereka seperti bayi. Sungguh, aku sangat membenci bayi yang satu ini. Kalo bayi beneran sih memang tidak berdosa. Nah, ini? Bayi-bayi berkumis yang sok-sokan mengenakan jas almamater dimaksudkan untuk menentang negara, atau bahkan almamaternya sendiri. Merasa tidak punya dosa kali. Padahal aku tahu, setiap malam, mereka selalu menggunakan akses wifi yang aku sediakan untuk menonton film-film immoral. Film-film yang menggeliat nan menggairahkan. Duh, tak sampai hati aku membayangkannnya. Dasar bayi-bayi tolol. Makanya, belajar sana, biar nilainya bisa lebih dari C!
Namun di zaman dua ribu belasan, aku, atau mungkin kami, sangatlah senang akan kondisi ini. Saking senangnya, mungkin melebihi seorang ibu yang mendapatkan kembali anaknya setelah diculik selama 27 tahun. Hahaha. Hihihi. Wehehe.
Jumlah para mahasiswa keparat itu semakin sedikit, berbandung terbalik dengan jumlah mahasiswa yang mendaftar di kampus-kampus yang seluruhnya aku kuasai. Oh, atau mungkin ‘siswa’. Karena yang aku kenal, mahasiswa adalah para anjing kudis yang selalu menentang kami. Hih. Tapi untunglah, karena para ‘siswa’ tersebut semakin khawatir akan masa depan. Mungkin stigma yang dipikirkan adalah ‘bagaimana cara mendapatkan kerja’.
Mereka khawatir akan masa depan, namun tidak khawatir akan apa yang dilakukan olehnya di detik ini.
Jangan salah sangka, begini-begini aku pandai bersyukur. Aku sangatlah bersyukur akan keadaan sekarang. Peredaran ‘siswa’ semakin banyak dan para anjing kudis itu semakin sedikit. Yes! Semakin ‘siswa-siswa’ itu patuh, semakin sempit kemungkinan bayi berkumis itu memberontak. Dan semakin sempit kesempatan mereka untuk berontak, maka, semakin mudahlah aku dan para pembantu tololku untuk membuat kebijakan baru tanpa perlu rakyat ketahui. Dan tentunya, menguntungkan aku dan dompetku yang selalu haus.
Mereka tidak perlu protes akan kebijakanku. Mereka tidak perlu tahu kemana aliran dana yang melimpah mengalir. Sunday, Monday, Tuesday, everyday yang perlu mereka lakukan hanyalah duduk manis di bangku putih, bermain Line Get Rich, dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya. Meskipun mereka seperti robot rusak, tetapi itu lebih baik ketimbang memberontak kepadaku.
Dahulu, ketika masih muda, kuakui bahwa aku merupakan salah satu dari mereka: anjing-anjing kudis yang selalu mengawasi dan menentang para orangtua yang berada diposisiku. Aku tahu, dalam sanubariku, bahwa hal tersebut tercipta demi tidak terjadinya taqlid buta, yang artinya adalah kita sebagai anak Bebek, tidak salah mengikuti Serigala yang bisa saja menyerupai Ibu kita.
Namun, hari ini aku tahu perasaan para Orang tua bodoh itu. Ingin tahu bukti bodohnya? Hmm. Buktinya mereka tidak secerdik aku. Jika mereka cerdik, mengapa di masa mereka, para anjing kudis itu malah semakin banyak dan menjamur?
Seperti yang kalian tahu, puncak keemasan para anjing kudis itu adalah pada masa reformasi. Haha. Untunglah yang kena semprot hanyalah Bapak-Bapak Tua Buncit dan bukan Aku. Haha. Aku, pada hari itu, menyamar seperti mereka. Dan tentunya aku sudah memprediksikan kejatuhan kerajaan orde baru. Untuk apa membela yang kalah? Aku kan opportunis. Eh, terlalu kasar. Aku kan, si-orang-yang-mampu-mengambil-celah-sesempit-mungkin.
Hmm dan kurasa, demi kelangsungan hidup kerajaan tirani yang baru kubangun, semakin sedikit jumlah anjing kudis itu, semakin baik. Cheers!