
Ilustrasi Rohana kudus yang melepaskan diri perempuan dari belenggu dengan tulisan. (Ilustrasi: Muhammad Irfan/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Belenggu budaya patriarki telah melekat pada sistem kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman kolonial dan langgeng hingga saat ini. Penyebabnya klasik, masyarakat masih memandang ranah perempuan terlalu domestik. Kemudian, budaya tersebut memicu pergerakan dari kalangan perempuan untuk keluar dari belenggu, salah satunya gerakan Rohana Kudus melalui pendidikan dan tulisan.
Rohana tumbuh sebagai wanita Minang yang kental dengan sistem matrilineal di abad ke-19. Pada sistem tersebut kedudukan perempuan begitu dimuliakan karena katanya mesti dilindungi. Namun kemuliaan ini justru menciptakan anggapan perempuan lemah. Kondisi tersebut menjadi awal cerita ia menciptakan perubahan dengan menaburkan benih kebebasan dalam lingkup pertemanannya.
Walaupun tidak mencicipi pendidikan formal, Rohana mampu membaca dengan baik, dapat menulis huruf Arab, Latin, dan Arab melayu serta menguasai bahasa Melayu juga Belanda. Bekal pengetahuan itu ia dapatkan dari ayahnya yang lalu diberikan lagi kepada kawan-kawannya.
Perjuangan dimulai dari berdirinya perkumpulan Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sayangnya, gerakan tersebut justru dibenci oleh sebagian masyarakat Koto, karena mereka khawatir anak gadisnya ikut menentang Belanda. Memang pada saat itu, masyarakat tahu jika suaminya, Abdul Kuddus begitu menentang pemerintahan Belanda. Akibat dirundung, Rohana meninggalkan kampung halamannya selama tiga tahun untuk merenung di Bukittinggi.
Setelah keluar dari masa merenung dan siap akan umpatan serta cacian, pada 1911 mereka memutuskan kembali ke Koto Gadang untuk mengadakan rapat perubahan bagi kaum perempuan. Rapat berlangsung alot, namun tanpa menyerah Rohana berhasil membuat semua hadirin sepakat untuk mengaktifkan kembali Kerajinan Amai Satia (KAS).
Selama berdirinya sekolah KAS, fasilitas pembelajaran ditunjang dari iuran murid-murid dan sumbangan anggota KAS sendiri. Seiring berjalannya waktu, Rohana memperhatikan ternyata gedung sekolah perlu pembaharuan. Akhirnya ia memutuskan mencari dana melalui lotre.
Setelah memenangkan lotre kabar buruk bertebaran, mereka dituding menggunakan uang hasil lotre untuk kebutuhan pribadi. Rumor tersebut ternyata datang dari murid-muridnya yang iri dan berburuk sangka atas keakraban Rohana dengan petinggi-petinggi Belanda.
Sakit, tapi Rohana tidak berhenti berjuang sampai situ. Suatu hari, ia berdiskusi dengan suaminya agar bisa berbagi ilmu dengan perempuan-perempuan di daerah lain.
Ia memulai gerakan dengan mengirimkan sebuah surat kepada Pemimpin Surat Kabar Oetoesan Melajoe, Soetan Maharadja. Rohana menuliskan permintaannya agar perempuan diberi kesempatan mencicipi pendidikan seperti lelaki dan mengusulkan agar media memberi ruang pada tulisan perempuan.
Ternyata Maharadja menyambut baik surat Rohana. Kemudian ia mengusulkan anaknya, Ratna Juwita untuk mengurus surat kabar khusus perempuan yang diterbitkan dengan nama Soenting Melajoe. Sementara Rohana akan mencarikan kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik dalam surat kabar mereka dan Ratna akan mengurus keperluan redaksi di Padang.
Dalam Soenting Melajoe, Rohana menuangkan segala isi hati dan pikirannya. Lantas tidak perlu mendongakkan kepala untuk menyiratkan kehormatan, ia menjadikan menulis sebagai pelampiasan demi membangkitkan semangat kaum perempuan. Tulisan demi tulisannya mengalir seperti air laut yang takkan pernah habis, takkan pernah kering.
Walaupun dalam perjuangannya Rohana dirundung dan difitnah oleh masyarakat hingga tidak bisa melanjutkan organisasi yang ia dirikan. Bahkan masuk ke daftar hitam Belanda karena perlawanannya, tidak lantas membuat wanita ini kelu dalam menyuarakan hak perempuan. Ia menyadari bahwa perempuan memiliki otoritas dalam menentukan pilihannya sendiri.
Penulis: Syifa Khoirunnisa/SM
Editor: Sophia Latamaniskha/SM