
Suasana pembayaran Uang Kuliah Tetap (UKT) di Student Center Unisba, Senin (23/12). Pembayaran ini dimulai tanggal 16-27 Desember 2013. Mahasiswa terlihat sedang antri menunggu giliran untuk membayar UKT. (Agam Rachmawan/Job)
Suaramahasiswa.info – Gencar-gencarnya Unisba membuka pembayaran Uang Kuliah Tetap (UKT) saat Ujian Akhir Semester (UAS) pun belum dimulai. Sebagian Mahasiswa Unisba mengkritisi kebijakan Universitas tersebut lantaran penyelenggaraan semester ganjil belum selesai. Universitas seperti mendesak dan memungut uang mahasiswa. Lalu, apa urgensi sehingga universitas memberlakukan kebijakan tersebut?
Banyak mahasiswa yang mengkritisi lewat media sosial tempo hari. Kebanyakan mention yang masuk ke twitter Humas Unisba menanyakan akan fasilitas, kinerja dan kenyamanan mereka (mahasiswa Unisba-red) selama menuntut ilmu di kampus biru. Unit Kegiatan Mahasiswa di Unisba sebagai kegiatan pengembangan jati diri dan kreatifitas tidak difasilitasi. Hingga ada UKM yang memiliki satu ruangan ditempati 5 UKM sekaligus. Miris, dana besar dipertanyakan, 3000 lebih kepala mahasiswa aktif diharuskan membayar UKT, apa feedbacknya bagi kami, mahasiswa.
Apakah ada perubahan signifikan? Pepatah mengatakan, “besar pasak dari pada tiang, besar pengeluaran dari pada pendapatan”. Ini berbanding terbalik dengan Unisba; besar tiang dari pada pasak, besar pendapatan dari pada pengeluaran. Lebih naas lagi dialami angkatan 2013, biaya UKT naik dari Rp. 1.375.000 menjadi Rp.1.650.000. Perlu dipertanyakan, kemana uang kami Pak, Bu? Apakah banyak dipakai untuk studi ke luar negeri?
Sebagaimana dalam organisasi, Unisba harus mengadakan audiensi dengan para mahasiswa akan persolan ini. Contoh kecilnya mungkin harus ada laporan pertanggungjawaban, transparansi dana dari universitas yang melaporkan pemasukan dan pengeluaran. Sehingga mahasiswa tahu proyek apa yang dikerjakan universitas.
Mahasiswa kampus biru termenung dalam ingatan, bagaimana mereka memikirkan orangtuanya bekerja keras untuk dirinya, tapi kami mahasiswa, tidak mendapat kenyamanan di kampus ini. Belum lagi masalah pembelian buku panduan skripsi. Salah satu fakultas menjual buku panduan skripsi tersebut dengan harga Rp. 100.000,-. Setelah dicari tahu, buku itu bisa dibeli hanya dengan uang Rp.15.000. Lelucon macam apa ini?
Fasilitas parkir, bila matahari sudah tepat di atas kepala, parkir pun susah didapat dan suasana kampus pun panas gersang. Bahkan sempat kawan mengomentari “Kampusku seperti sitaan mobil dan motor curian,” menumpuknya mobil yang masuk kampus, seperti lahan penjualan mobil bekas. Malangnya Unisba. (Adil Nursalam/SM)