Suaramahasiswa.info, Unisba- Di tengah kemajuan teknologi, tantangan terhadap kesetaraan gender tetap hadir dalam berbagai aspek kehidupan. Meski dunia telah melalui berbagai perubahan zaman, perjuangan untuk kesetaraan gender tampaknya masih menjadi perjalanan panjang nan berliku.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia pada 2023 sebesar 0,447 poin yang turun 0,012 dari tahun sebelumnya. Ini terjadi karena risiko potensial kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia berhasil diminimalkan. Lalu, pada dimensi pemberdayaan, dan dimensi pasar tenaga kerja pun mengalami perbaikan yang signifikan.
Meskipun terjadi penurunan IKG, ketidaksetaraan gender di Indonesia tetap berlangsung. Salah satunya dalam hal upah kerja yaitu pendapatan perempuan masih terbilang rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena adanya diskriminasi gender dalam perekrutan dan kebijakan tempat kerja.
Selain itu, pemahaman publik masih rendah mengenai pembunuhan yang mengandung aspek ketidaksetaraan gender atau yang disebut dengan femisida. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan telah memantau kasus ini dalam beberapa tahun terakhir di media online. Tinjauan terbaru yang dilakukan, yakni dari November 2022 hingga Oktober 2023 dengan menemukan 159 pemberitaan yang menunjukkan jelas adanya femisida.
Permasalahan ketidaksetaraan gender telah berlangsung sejak lama. Anggapan perempuan makhluk lemah dan tidak bisa setara dengan laki-laki, menjadi faktor kekerasan yang sering terjadi. Perempuan ditekan untuk mengurus rumah saja, sehingga mengalami keterbatasan dalam pendidikan dan pekerjaan.
Sejarah Perjuangan Kesetaraan Gender
Ternyata, terbatasnya pendidikan dan kesempatan kerja, dirasakan pula oleh perempuan Indonesia pada masa kolonial. Pada 1908, Kartini muncul di tengah kegelapan untuk memperjuangkan hak pendidikan antara perempuan dan laki-laki sebagai wujud perlawanan atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada masa itu.
Pada Orde Lama atau Pasca-kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan bermunculan untuk mendorong perempuan berpartisipasi dalam memperjuangkan hak-haknya. Salah satu organisasi yang berpengaruh pada masa orde baru adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Gerwani, berperan aktif dalam berbagai bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Gerwani juga terlibat dalam politik yang mendukung pemerintahan Soekarno. Namun, pada akhir masa Orde Lama, Gerwani dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) sehingga dibubarkan.
Memasuki Orde Baru (Orba), organisasi perempuan independen tetap tumbuh meskipun gerakannya ditekan. Sebagian besar organisasi tersebut menjadikan Orba dan militerisme sebagai musuh bersama. Platform perjuangannya, yaitu menghapuskan patriarki, melawan rezim otoriter dan memperjuangkan kesejahteraan perempuan.
Di sisi lain, pada masa ini dikenal dengan adanya tragedi Marsinah, seorang aktivis buruh perempuan berusia 24 tahun yang diculik dan akhirnya ditemukan tewas pada 8 Mei 1993. Berdasarkan hasil visumnya, Marsinah tewas karena cedera berat akibat benturan keras yang ditemukan di leher dan kedua tangannya. Lalu, adanya bercak-bercak darah di tubuh Marsinah yang diduga diperkosa sebelum dibunuh.
Berbanding dengan masa Orba, para perempuan di era reformasi berkesempatan untuk lebih aktif dalam menyuarakan aspirasinya. Mereka banyak mengambil tindakan penting, termasuk dalam membela kaumnya serta memikirkan nasib para masyarakat marjinal.
Sayangnya, masa ini lebih sulit menentukan institusi mana yang harus bertanggung jawab. Pada akhirnya publik mengadili perempuan, seperti dalam kasus sadis menggunakan cangkul di Bengkulu. Selain itu, ketika perempuan menjadi korban, maka tanggung jawabnya juga pada perempuan. Tujuannya untuk mengembalikan perempuan ke ranah rumah tangga dan memaksa untuk melindungi diri dari norma konservatif yang berlaku.
Walaupun telah melewati berbagai tantangan selama berabad-abad, perjuangan untuk kesetaraan gender di Indonesia masih terus berlanjut. Dibutuhkan kerjasama untuk mencapai kesetaraan gender, mengingat masih adanya ketimpangan dalam berbagai aspek.
Penulis: Siska Vania/Job
Editor: Alfira Putri Marcheliana Idris/SM