Ilustrasi seorang mahasiswa yang berorasi di depan massa aksi. Belakangan ramai seorang aktivis yang tiba-tiba ingin masuk ke parlemen. (Foto: SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba– Baru-baru ini, kembali diperbincangkan nama seorang mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) periode 2019-2020, Manik Marganamahendra yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif (Caleg) Partai Perindo untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Keputusan tersebut kemudian menjadi perbincangan di media sosial, utamanya dari kubu kontra yang menyayangkan pilihan dari mahasiswa lulusan UI ini. Sebagian lain juga mendukung keputusannya dengan alasan keterwakilan anak muda.
Sebelumnya, tahun 2019 ia sempat menjadi sorotan ketika dirinya ikut serta untuk melakukan unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) terkait penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal itulah yang disayangkan oleh sebagian masyarakat karena kini Manik malah ingin masuk ke dalam lembaga yang sebelumnya ia juluki “Dewan Pengkhianat Rakyat”.
Namun jika menilik dari sejarah, banyak “Tukang Demo” lain yang sudah menduduki posisi penting di pemerintahan, seperti Bupati, Walikota, hingga DPR. Misalnya sederet aktivis angkatan 1998 seperti Adian Yunus Yusak Napitupulu, Budiman Sudjatmiko, Faisol Reza, hingga Fadli Zon yang ketiganya kini menduduki bangku DPR RI. Salah satu alasan aktivis mencalonkan menjadi Caleg yaitu untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat seperti Manik.
Pertarungan untuk menjadi legislator memang bukan hanya milik politisi, tapi milik banyak kalangan termasuk mantan aktivis. Sayangnya, banyak dari para aktivis yang masuk ke parlemen namun tidak dapat berbuat banyak. Bahkan seperti yang dilansir di Kompas.com, sejumlah mantan aktivis 98 mempertanyakan kiprah teman-teman mereka yang masuk ke parlemen.
Didukung oleh pernyataan anggota komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning yang berkata dalam diskusi dengan judul “Berburu Suara Buruh di Tahun Politik” di Jakarta pada 2018, bahwa tidak semua aktivis bisa mempertahankan idealismenya saat memasuki partai politik. Rika juga menjelaskan banyak aktivis yang dahulu kritisnya luar biasa, tetapi saat memasuki parlemen aktivis tersebut malah bergeming.
Skeptisme masyarakat akan tren ini juga terjadi karena ada beberapa kasus aktivis yang ketika menjabat dirinya terjerat kasus korupsi. Seperti yang diungkapkan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada cuitannya di Twitter tahun 2017 yang cukup mendapat sorotan yaitu ungkapan bahwa ada mantan aktivis 1998 yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi.
Namun tak sedikit masyarakat yang mendukung eks “parlemen jalanan” atau mantan aktivis yang kemudian menduduki bangku parlemen di lingkar pemerintahan. Michael Victor Sianipar, Ketua Harian DPP Pemuda Partai Perindo mengatakan dalam wawancaranya di Republika.co.id bahwa aktivis muda sudah saatnya masuk ke sistem perpolitikan yang nyata.
Dukungan juga hadir dengan narasi bahwa masyarakat yang kini merindukan munculnya politisi yang dapat menjembatani mereka dengan pemerintah. Keberadaan seseorang yang dulunya ikut berjuang di jalanan menjadi secercah harapan agar kebijakan tidak berpihak pada oligarki, melainkan pada rakyat.
Tidak semua aktivis mahasiswa seperti Budiman Sudjatmiko atau Faisol Reza yang menjadi politikus. Namun ada juga aktivis yang masih jalan terus di jalan aktivisme seperti Abdul Latif Algaff yang kini menjadi Direktur Dana Pensiun di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Ia aktif menjadi aktivis di area kerjanya seperti Pekerja Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu, adapun Asfinawati yaitu seorang advokat Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 2017–2021. Ia masih berjalan di dunia aktivisme dengan berkontribusi untuk memberi pembelaan pada kelompok minoritas di Indonesia.
Pilihan para aktivis dalam melanjutkan hidupnya kerap kali menjadi sorotan publik. Apalagi ketika aktivis masuk parlemen yang dinilai oleh sebagian publik sebagai suatu hal yang kontradiktif. Beban yang dipikul pun lebih berat karena harapan masyarakat untuk lebih didengar akan lebih besar. Kini tinggal menghitung waktu bagaimana pergerakan yang akan dilakukan oleh para aktivis di dalam kursi pemerintahan.
Penulis: Fikri Fadilah/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM