Ilustrasi Kekerasan Seksual. (Foto: istockphoto)
Suaramahasiswa.info – Siapa yang tidak kenal Reynhard Sinaga? Pria asal Indonesia yang tempo lalu ditetapkan sebagai tersangka kejahatan seksual terhadap ratusan laki-laki. Berkat kejahatan itu, Reynhard dilabeli sebagai penjahat seksual terbesar dalam sejarah Inggris. BBC juga menjuluki Reynhard sebagai “evil serial sexual predator”.
Kasus Reynhard adalah bom waktu bagi perempuan dan kaum Lesbian, Gay, Bixesual & Transgeder (LGBT). Pasalnya sentimen publik terhadap mereka semakin membara.
“Perkosa tuh perempuan, bukan cowok”
“Memalukan baca beritanya… kalau memperkosa wanita masih maklum… Ini dobel memalukan”
“Klo cwek yang diperkosa gpp lha ini cwok hiiii”
Ocehan publik lewat media sosial itu seakan menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang dimaklumi. “Hal itu karena perempuan seringkali dicirikan sebagai sosok yang lemah, tidak berdaya, dan bergantung pada pihak laki-laki,” kata Dani Marsa Aria Putri (2012) dalam jurnal berjudul “BLAMING THE VICTIM: REPRESENTASI PEREMPUAN KORBAN PEMERKOSAAN DI MEDIA MASSA”.
Laki-laki Juga Menjadi Korban
Sopir ojek online (ojol) asal Purbalingga yang biasa ngojek di Purwokerto, Jawa Tengah, Sindu pernah mengalami kejahatan seksual. Kepada VICE, ia mengaku beberapa kali mendapatkan ajakan berhubungan badan, baik dari pelanggan perempuan maupun laki-laki. Meski begitu ia tidak melapor ke mitra ojol karena segan dan malu.
Stigma di masyarakat terhadap korban kejahatan seksual adalah mimpi buruk. Jika perempuan khawatir disebut jalang, hina, dan tidak suci lagi. Sedangkan pria takut jika dianggap tidak maskulin, lemah, dan tidak jantan. Diskriminasi ini membuat mereka (baca: korban kejahatan seksual) enggan buka-bukaan.
Artikel dari Sexual Assault Prevention and Awarnesss Center dari University of Michigan berjudul “Male Survivors of Sexual Assault” menyebut “laki-laki di masyarakat kita diharapkan selalu siap untuk melakukan hubungan seks dan menjadi penyerang dalam hubungan seksual, mungkin sulit bagi seorang pria untuk memberi tahu orang-orang bahwa dia telah mengalami pelecehan seksual, terutama jika pelaku adalah seorang wanita. Selain itu, baik orang yang selamat itu sendiri atau orang-orang di sekitarnya mungkin merasa bahwa “pria sejati” akan mampu melindungi dirinya sendiri.”
Selain itu, pria yang menerima kekerasan seksual saat anak-anak, akan dicap sebagai sebagai pelaku saat dewasa. “Sebagian besar pria yang mengalami pelecehan seksual saat anak-anak tidak melakukan demikian saat dewasa, stigma ini dapat berdampak negatif pada pengalaman sosial pria yang selamat, dan itu juga dapat menyebabkan mereka untuk menutupi pengalamannya,” ucap Cathy Spatz Widom (1995) dalam penelitiannya “Victims of Childhood Sexual Abuse – Later Criminal Consequences”.
Berdasarkan data yang dirilis dalam American Journal of Public Health (2014) ternyata jumlah laki-laki dan perempuan korban pelecehan seksual memiliki jumlah yang hampir sama; 1.267 juta laki-laki dan 1.270 perempuan mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual.
Peduli dengan Korban
“Saya ingin Sinaga mendapat ganjaran hukuman penjara selamanya karena perbuatan itu menyebabkan dampak besar. Tak hanya hidup saya namun juga teman-teman dan keluarga serta para korban lain,” kata salah seorang korban lewat BBC News.
Kondisi psikologis korban Reynhard seketika hancur. Mereka bukan perempuan – yang biasa dicap lemah gemulai – tetapi laki-laki. Rasa hancur psikis tidak memandang gender – laki-laki dan perempuan akan merasakan hal yang sama.
Masyarakat Inggris mengecam tindakan keji Reynhard. Yang paling penting adalah, tidak menyudutkan korban dengan apa yang mereka alami. Intinya, ini adalah kejahatan seksual.
Apa yang terjadi di Indonesia demikian berbeda. Reynhard memiliki orientasi homoseksual, dan dari sudut itu lah yang dilihat. Kaum LGBT terimbas berkat kasus tersebut. Mereka semakin dicap menjijikan dan predator seksual. Padahal, kejahatan seksual tidak memandang orientasi seksual. Kejahatan tetaplah kejahatan.
Apalagi menghalalkan kejahatan seksual terhadap perempuan, situ sehat?
Penulis: Febrian Hafizh Muchtamar
Editor: Ifsani Ehsan Fachrezi