Suaramahasiswa.info –Pergantian pemerintahan sering kali identik dengan munculnya kebijakan-kebijakan baru yang membawa perubahan. Namun, di pemerintahan yang baru ini, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) tetap dilanjutkan dan bahkan semakin ditingkatkan.
Dikutip dari detik.com, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Dikti Saintek) 2024-2029, Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan bahwa Program MBKM akan tetap berjalan. Ia ungkap kedepannya pembelajaran akan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis agar para lulusan mampu bertahan di tengah kondisi pasar 2030 nanti yang tak pasti.
Refleksi MBKM Periode Jokowi
Program yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2020 ini cukup populer di kalangan mahasiswa. Bahkan tercatat dari 2021 hingga Juli 2024, sebanyak 404.155 mahasiswa telah mengikuti program MBKM.
Di luar program MBKM Mandiri yang dijalankan oleh masing-masing perguruan tinggi, jumlah penerima bantuan mahasiswa juga meningkat signifikan dari 2.390 orang pada 2020 menjadi 324.871 orang pada 2023. Beberapa persyaratan mulai dari berkewarganegaraan Indonesia hingga miliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimum 3,00 dari skala 4,00 pun harus terpenuhi.
Pada pemerintahan sebelumnya, program ini didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo, namun mengalami banyak kendala dalam pelaksanaannya terutama di perguruan tinggi yang bukan berada di wilayah kota. Keterbatasan tenaga pengajar, fasilitas, dan kerja sama dengan industri membuat kampus di daerah sulit bersaing dengan perguruan tinggi di perkotaan.
Ketimpangan akses juga menjadi kendala besar terutama bagi mahasiswa yang tinggal di wilayah terpencil yang menghadapi banyak hambatan infrastruktur, biaya, dan koneksi internet yang tidak memadai. Hal ini mengurangi peluang mereka untuk mengikuti program MBKM secara penuh.
Selain itu juga kurangnya standar penilaian yang sama membuat kualitas program antar-kampus tidak merata. Ditambah lagi, terbatasnya mitra industri dan sosialisasi yang kurang efektif membuat mahasiswa dan dosen kurang memahami manfaat program ini.
MBKM Sebagai Pabrik Penghasil Pekerja
Program MBKM diarahkan untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk mengembangkan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri. Perusahaan pun mudah mencari pekerja dengan tarif yang relatif lebih rendah.
Tujuan tersebut dapat mengubah esensi pendidikan yang awalnya untuk mengembangkan kecerdasan dan memberikan manfaat bagi masyarakat, menjadi ajang untuk menghasilkan tenaga kerja. Sehingga tumpulnya intelektualitas mahasiswa menjadi sebuah potensi yang tinggi.
Seperti seorang akademisi dan penulis asal Inggris, Peter Fleming yang menggunakan istilah edu-factory untuk menggambarkan sistem pendidikan modern ini. Istilah tersebut menggambarkan lembaga pendidikan yang lebih mengutamakan efisiensi dan produksi daripada perannya sebagai lembaga yang melayani kepentingan publik.
Bahkan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kepada Tirto.id bahwa kebijakan MBKM ini sangat berorientasi pasar bebas. Ubaid juga menyebut Nadiem terlalu mengikuti logika industri yang bertolak belakang dengan fungsi pendidikan tinggi.
Di sisi lain, Nadiem mengatakan perguruan tinggi harus adaptif mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link dan match dengan industri. Namun, justru menurut Dian Septi, Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), saat ini sistem kerja magang bagai setali tiga uang dengan perbudakan karena hanya menyediakan tenaga kerja murah.
Hal ini menandakan perlunya pembenahan kembali terkait program MKBM. Tujuannya agar esensi dari pendidikan itu sendiri tidak hilang dan tidak hanya berfokus sebagai tempat penghasil tenaga kerja.
Penulis: Linda Puji Yanti/SM
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM