Oleh: Muhammad R. Iskandar
Mungkin kita hanya tak saling bicara dalam satu suasana romantis. Mungkin tak juga ada lilin yang hangatkan obrolan kita sebelumnya. Mungkin kita memang harus berkaca, dan mungkin kita memang harus saling koreksi.
Seketika gaduh seisi ruangan malam itu terhenti. Berganti dengan ucapan salam yang tentu dibarengi salam. Ia lah pria yang membuat pejabat-pejabat Organisasi Mahasiswa itu menunggu. Wajar, jalanan Cibiru Sabtu malam padat bukan main. Banjir ditambah gorong-gorong yang memang sedang di revitalisasi jadi perkara. Ia datang dengan santai, tak pakai jubah kebesaran, tak juga kenakan almamater biru-nya. Dikenakannya pakaian serba hitam, ditambah jaket coklat yang memperkuat kesantaiannya. Namun kesan itu luntur ketika saya melihat dua mahasiswa -sepertinya seusia saya- yang menemani pria tadi bak sepasang Paspamres mengawal presiden blusukan.
Satu-dua mahasiswa berbisik, merancang apa yang ingin dimuntahkan. Bisik-bisik itu tak pula berhenti saat pria yang tadi disalami duduk di muka. Terduduk lah pak rektor ditemani sang Kabag Kemahasiswaan yang paling ahli dalam mengurus mahasiswa. Bagaimana mungkin tidak piawai dia? Hingga rektor menggandengnya dalam Malam Keakraban Unisba 2016 itu, bukan?
Tak hanya berdua, para pejabat kampus ini pun ditemani tiga orang mahasiswa, ceritanya memoderatori diskusi santai itu. Seusai menjabarkan hasil obrolan yang menggantung dengan jajaran wakil rektor dan ketua-ketua bagian sebelumnya, dengan terpaksa Yudha Satria Permana, sang Ketua Pelaksana menarik nafas. Tentu bukan tanpa sebab, Thaufiq Boesoirie yang meminta obrolan kali itu hanya untuk mengakrabkan hubungan alot antar mahasiswa dan rektorat. Mulailah ia berkelakar, mencairkan suasana yang sempat kikuk. Entah karena mahasiswa terpesona dengan bentuk tiga dimensi dari sosok yang terlalu sering kita lihat potretnya itu. Atau, entah karena memang ingin diam-diam saja.
“Jangan serius-serius dulu lah, teknis bisa diobrolkan nanti dikampus. Saya sering dapat tawaran stand up comedi kok,” guraunya.
Sebelumnya harus diketahui, Thaufiq memang menjabat sejak 2009 menggantikan Endang Saefulloh untuk memimpin Unisba. Ia sendiri masih mengajar di Fakultas Kedokter Unpad dalam 12 SKS. Selain itu juga, ia memang membuka praktek sebagai Dokter spesialis. Ia keluhkan betapa kumuh dan barbarnya kampus biru pada awal masa jabatan. “Unisba tuh dulu jago demo. Saya sih enggak mau ngeladenin demo, mending langsung ketemu saja.”
Saya memilih menjadi rektor, kata Thaufiq, semata-mata untuk pengabdian kepada pendidikan. Siapa sangka kampus yang banyak meninggalkan pekerjaan rumah dulu, kini sudah sangat dipandang dijajaran universitas se-Indonesia. Sebagai bukti, ia kisahkan alasan ia pergi ke Inggris di akhir 2015 lalu. “Saya kesana untuk mewakili Unisba yang di anugerahi The Best Regional Universitydari EBA Oxford.”
Sejauh itu obrolan masih satu arah, hanya dari Thaufiq ke mahasiswa. Karena nuansa ketidakpuasan kian tercium, mulailah dibuka sesi tanya jawab. Ragam tanya dilayangkan. Mulai dari keterbukaan rektorat dengan mahasiswa, ada juga mengenai staf-staf rektorat yang dirasa tak sejalan dengan penjelasan rektor sebelumnya, hingga ihwal kesiapan Unisba menyambut Masyarakat Ekonomi Asean.
Sebelum menjawab semua itu, Thaufiq sempat mengeluhkan betapa sibuknya ia dan jajarannya. Dua orang wakil rektor, dirasa sudah tak bisa mengimbangi ritme ini-itu Kampus Biru. Ia menilai statuta harus segera direvisi dengan menambahkan dua lagi wakil rektor. Masing-masing mengurusi masalah Akademik, Keuangan, Kemahasiswaan, dan Kerjasama.
Pula, ia mengamini kesibukan itu yang membuat rektorat jadi kurang intens bergaul dengan mahasiswa. Menurutnya forum diskusi rutin antara mahasiswa dan rektorat perlu diadakan untuk menjaga komunikasi vertikal itu. “Saya minta nanti dijadwalkan forum diskusi sebulan sekali dengan mahasiswa ya..,” ucapnya pada Presiden Mahasiswa dan Sekertaris Rektorat.
Menanggapi ihwal staf-staf retorat yang dirasa mahasiswa tak sejalan dengan pernyataannya, Thaufiq berdalih, saat ia naik menjadi rektor dahulu lebih parah dari ini. “Bila anda ada pada masa-masa itu (awal ia menjabat) akan lebih keras lagi membicarakan hal ini,” guyonnya. Ia mengaku dahulu para pegawai kampus sering kali bertindak seenaknya, bahkan dalam urusan membalas pesan singkat. Saya tegaskan, ujar pria berkacamata ini, bila masih seperti itu akan saya bawa ke meja hijau dengan UU ITE.
Pertanyaan ketiga tentang MEA pun menjadi topik lanjutan bagi Thaufiq. Ia merasa dengan semboyan 3M itu sudah cukup. Unisba pun ia nilai siap dalam menyambut MEA. Mengingat posisinya yang menjadi salah satu poros kampus Islam di ASEAN bersama 10 universitas Malaysia, dinilainnya adalah sebagai bentuk kesiapan.
Badan Usaha Milik Universitas (BUMU) jadi sasaran untuk menghidupi kampus biru yang serba kepentok yayasan ini. “Perbaikan peturasan diruangan saya saja akhirnya pakai uang pribadi, karena lelah menunggu,” dilanjut tawa seisi ruangan.
Saat suasana mulai agak cair, sang rektor pun dengan gesturnya mencoba meyakinkan bahwa ia selalu mendukung keberadaan Organisasi Mahasiswa. Bahkan untuk para calon-calon pengusaha muda, ia menargetkan sebuah inkubator bisnis sepeti yang sudah digagas beberapa kampus besar. “Ya asal kalian bisa selalu jaga kantor kalian masing-masing, bersihkan lah. Kalian butuh apa biar sekre rapih? Bilang langsung sama saya,” serunya.
Ditanya soal fasilitas, kembali Thaufiq berdalih rektorat tidak berdikari untuk ranah dana. Karena yayasanlah yang mengurusi. Lahan parkir baginya sudah mulai teratasi, lewat pembangunan gedung baru FK yang basement-nya dapat menampung sekitar 38 mobil dan 400 motor. Tak ingin banyak berbicara teknis, ia menargetkan Unisba mungkin saja akan membeli lahan di luar Bandung untuk menanggulangi kepadatan dan keterbatasan ruang Tamansari.
Tak ingin melulu dininabobokan wacana, salah seorang mahasiswa mengacungkan tangannya. “Kan dari dulu target ini-itu mah biasa pak, realisasinya akan bagaimana?” Thaufiq menjanjikan hal ini akan dibahasnya dalam forum diskusi dengan mahasiswa nanti. Tentu aroma ketidakpuasan tercium dengan jawaban sang kepala, namun mahasiswa masih berusaha bersabar untuk menunggu realisasi forum diskusi itu.
Saat tak ada penanya lagi, saya merasa obrolan kian mirip ESQ. Di mana Rektor mengingatkan betapa sulitnya orang tua menguliahkan anaknya, dan sudah sewajibnya anak itu lulus tepat waktu. Hanya saja kurang iringan nada minor yang memancing air mata. Bila mas Haris -yang diam-diam saja sedari awal obrolan- memainkan pianika, mungkin saya akan meneteskan air mata.
*Bagaimana? Apa anda benar-benar menghabiskan 6 menit 23 detik, untuk membaca tulisan ini?