Oleh: Muhammad R. Iskandar
Pada akhirnya, memandang LGBT layaknya mengapresiasi lukisan-lukisan tanpa busana milik Antonio Blanco. Karena bila sedikit gegabah, tentu ada hati yang terluka.
Beberapa minggu lalu, sebuah baliho besar bertuliskan “Kami Mengutuk LGBT” sempat menghiasi gerbang Kampus Unisba Tamansari. Tidak ada yang salah dari keberadaan media primitif tersebut, baik dalam pesan maupun dalam tataruang. Toh sudah barang jelas, bagaimana Islam menerangkan fenomena serupa via kisah nabi Luth AS. Namun, bagaimana bila kita coba telaah LGBT tanpa mencap dosa dan haram?
Mungkin kita sudah mendengar anggapan sejumlah ahli konspirasi, tentang LGBT adalah bentuk neokolonialisme. -Dalam arti oknum di sebuah negara membuat tren hubungan sejenis yang pada akhirnya melahirkan penyakit-penyakit baru, dan negara tersebut mendapatkan keuntungan dari pembelian obat penawar untuk penyakit yang mereka ciptakan. Atau lebih sederhananya penawar bisa ular adalah bisa ular itu sendiri. Terlepas dari itu semua, subjektivitas saya mengatakan bahwa LGBT adalah permasalahan pemuda-pemudi puber yang sakit hati.
Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender, dari kacamata saya merupakan sebuah masalah sederhana dalam alam abstrak seorang manusia. Dimana mereka mendapat kenyamanan dari sesama jenisnya. Sebenarnya hal ini tentu lumrah adanya. Anda sebagai lelaki tentu lebih nyaman bermain bola, kartu, PES bahkan ngopi dengan sesama lelaki. Sedangkan perempuan sudah barang tentu lebih nyaman berbelanja dengan sesama perempuan, atau curhat dengan sahabat wanita anda.
Acapkali masalah kenyamanan ini sering kali diiringi trauma dalam benak. Tidak bisa dipungkiri, ada saja pemeluk LGBT yang melandasi kegiatannya karena mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pasangan terdahulu. Selain itu, faktor trauma kekerasan seksual seperti pencabulan juga punya peranan penting pada hal ini.
Kekinian, seiring dengan meluasnya LGBT dari tingkatan personal ketahap gejala sosial, membuat para ahli psikologi mengeluarkan fenomena ini dari klasifikasi abnormal. Alasannya sederhana, hal yang tidak normal tentu minor adanya, dan kini LGBT tentu sudah masuk tangga nada mayor. Sudah tak pantas lagi disebut minor dalam ranah keilmuan.
Meraksasanya fenomena ini kepenjuru dunia dari sebuah tagar #lovewins tentu menjadi momok tersendiri untuk negara ketimuran seperti Indonesia. Adanya dinamika sosial dari para LGBTphobia menajadikan kaum lovewins ini terasing dinegrinya. Hasilnya, tidak ada data kuantitatif dari penganut Freedom Love ini. Seperti yang terjadi dengan para ODH di masa-masa HIV/AIDS baru merebak, masyrakat cenderung mendiskriminasi para penganut LGBT.
Salah? Sudah barang tentu. Mereka sama manusianya, mana mungkin kita harus membakar mereka dalam camp-camp pengasingan. Tentu ada gen-gen manusia, atau nama-nama keluaraga yang harus mereka turunkan bukan?
Di sisi lain media pun punya peranan dalam tumbuh kembang gejala sosial ini. Baik hujatan netizen maupun himbauan pemuka agama yang diedarkan, seringkali mendapat hasil minor dari para pemeluk LGBT. Efek media dalam pemberitaan LGBT saat ini cenderung mengarah ke arah phobia yang begitu dalam di lapisan masyrakat. Yang pada akhirnya membuat semakin terkucilnya kelompok minor ini.
Sementara itu, dalam pembahasan yang terus menerus diulang, LGBT tentu akan tertanam di benak pengguna media -notabene kalangan remaja. Tak jarang hal ini mengundang simpatik mereka, dan pada suatu momen malah terjebak dalam cerita cinta sesama ini. Adrenalin dan rasa penasaran khas pemuda lah yang membawa mereka, karena pada dasarnya hal-hal yang mendobrak nilai dan norma sangat menantang bagi para pencari jati diri.
Karena tren ini berawal dari permasalahan psikologis individu, penyelesaiannya pun kembali pada jalan yang sama. Disinilah peranan pemerintah dan cendikia untuk membuat tim khusus. Yang tugasnya menstimulus pemuda-pemuda kebingungan ini kembali pada fitrah cinta: meneruskan kelangsungan hidup gennya.
Sejenak kita sebagai masyarakat, harus kembali membuka salah satu bab dalam buku Pendidikan Kewarga Negaraan kita dulu. Toleransi nama babnya. Tak hanya di ranah Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, dalam urusan yang satu ini kita pun harus mulai bertoleransi. Hal ini tentu akan mempermudah proses konseling yang harus dilewati oleh para pemeluk LGBT.
Proses konseling ini pun sebenarnya bisa terjadi secara alamiah. Kita mengenal sejumlah tokoh yang pernah mengaku dirinya sempat gay maupun lesbi. Tak jarang mereka menemukan titik keganjilan dalam kisah cintanya. Tentu dalam proses ke arah ini, mereka mendapatkan lingkungan yang penuh toleransi. Pada akhirnya membantu serangkaian pencerahan-pencerahan alamiah yang terjadi dalam dunia alam sadar seseorang. Masalahnya, bila lingkungan yang bertoleransi saja membutuhkan jangka waktu bertahun tahun, apa jadinya dengan iklim diskriminasi yang bergitu deras?
Sementara demi mempersingkat ‘instal ulang’ ini, regulasi jelas dari pemerintah tentu menjadi harapan. Regulasi ini bukan main tangkap, juga bukan asal ciduk. Namun seperti yang sudah saya kemukakan di atas, permasalahan ini berawal dari dalam pikiran, tentu pula harus diselesaikan lewat jalan yang sama. Sejumlah pakem ilmu bahkan agama harus memufakatkan stimulus macam apa yang harus diberi dalam meredam gejala sosial ini. Tentu hal ini sesuai dengan koridor kapasitas masing-masing, dan tergabung dalam sebuah tim khusus yang menahkodai masyarakat dalam menyikapi LGBT.
Bila kita anggap masalah ini hanya sebuah angin lalu tanpa ada tanggapan serius. Dapat dipastikan tumbuh kembang kaum ini akan kian meluas. Dengan komoditas ‘cinta’ yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata, siapa pula yang berani janji pasangan anda, tidak memiliki pasangan lain yang sejenis? Diskriminasi yang terus menerus dilancarkan akhirnya pun akan menuju pada aksi balas dendam dari hati yang terluka. Saat penyebarannya kian tak terkendali, bisa saja kita yang akan dikutuk balik kawan-kawan LGBT.