“Idealisme adalah keistimewaan terakhir yang dimiliki pemuda,” begitu lah kata Tan Malaka.
Benarkah rekan sejawat, kita masih memiliki idealisme? Bukankah kita telah disibukan dengan urusan berbau akademik saja. Bukankah keistimewaan terakhir mahasiswa telah direnggut; sistem pendidikan yang begitu berambisi dengan sejumlah angka.
Seberapa banyak kau hadir di kelas, sebesar itu pula kualitas dirimu. Seberapa banyak kau telah menuruti kemauan dosenmu, menentukan seberapa cepat kau mendapatkan gelar di belakang namamu. Karena itu, waktumu hanya dihabiskan untuk memikirkan itu semua.
Mahasiswa hanya dibiarkan memakan hal yang sama, tidak diberi kesempatan mengecap hal yang berbeda. Lalu apa bedanya kita dengan kemasan ikan sarden kalengan yang memang begitu isinya. Untuk itu kah kampus hadir? dan kita mengikuti rentetan pendidikan formal? Lantas, di mana letak kemerdekaan mahasiswa yang bisa memilih makanan apa yang ingin dimakan — ilmu apa yang ingin didapatkan?
Kemerdekaan kita dalam memilih ilmu apa yang ingin kita nikmati, berhasil kampus penjarakan dengan menjajah waktu kita. Surat Keputusan 2-3 kesempatan mahasiswa bisa ‘alfa’ dari perkuliahan terlalu sempit. Hal ini cukup merantai ruang gerak mahasiswa yang menginginkan lebih dari sekedar ilmu perkuliahan.
Bahkan hal ini juga cukup untuk mengkebiri masa depan seperti apa yang mereka pilih. Jika tadi penulis ibaratkan mahasiswa sebagai ikan sarden kalengan yang pasti begitulah hasilnya karena ilmu yang mereka punyapun tak jauh bedanya. Nyatanya kita dibuat tidak memiliki waktu untuk memanen ilmu ditempat lain. Karenanya tak ada pilihan kita untuk mendapat masa depan yang berbeda; selain menjadi pekerja. Bukankah seringkali kita dengar dan lihat jika begitulah definisi akhir bahgianya.
Lalu bagaimana jadinya dengan kabar mahasiswa yang berambisi menunaikan idealismenya? Pemuda yang memikirkan nasib bangsanya. Ruang gerak organisasi di kampus biru ini pun begitu-begitu saja. Eksekutif datang ke rektorat menundukan kepala yang katanya untuk membela kepentingan mahasiswa, tapi berujung menjilat para penguasa. Sedangkan Pramoedya pernah berkata, “Alangkah indah kehidupan tanpa kita merangkak-rangkak di depan orang lain.”
Tak jauh beda, organ mahasiswa lain pun begitu agar bisa tetap hidup. Bahkan banyak dari aktifis menyerah disemester akhir perkuliahannya, akademiknya terancam bubar jika tak mulai mengakhiri kegiatanya diluar itu. Belum masalah finanasial yang juga menghantui. Bukankah lembaga Pendidikan inipun masih itung-itungan soal keuntungan besar seperti institusi kapitalis.
Namun, apakah kita akan mengibarkan bendera putih begitu saja, menyerah dan ditaklukan, kecuali kau memang merasa sudah tidak muda. Ada sebuah pepatah mengatakan, “Lebih baik menjadi seorang koruptor, jika kita berada dalam sistem yang korup.”
Mengingat pula bagaimana dulu Indonesia mencapai kemerdekaan pada 17 agustus 1945 tidaklah cukup dengan rasa berani saja. Mereka (baca: Indonesia) berangkat dari kesadaran nasional, telah terjajah. Kemudian perlawanan yang dilakukan pun berubah yang mulanya lokalan menjadi nasional. Bukankah itu pun harus terjadi pada kita, bahwa kita harus sadar dan tidak bisa tinggal diam; kemudian menonton yang terjadi dikampus ini secara berjamaah?
***
Pertanyaannya sesingkat itukah idealisme hidup?
Sesingkat itukah jiwa muda?
Kita ditaklukan!
kita dijajah kampus sendiri!
Kita belum merdeka!
Kita rayakan 17 agustus dengan perlawanan!
(Ressy/SM)