Ilustrasi hari pendidikan nasional. (Ifsani/SM)
Dewasa ini, Pendidikan diartikan tak lebih dari meraih nilai, melakukan ujian, dan mendapatkan Ijazah. Hakikat dari pendidikan itu sendiri, sedikit demi sedikit terkikis. Sampai menimbulkan kebingungan, Apa itu pendidikan sebenarnya?
Di Negeri kita tercinta ini, paradigma kebanyakan orang berpikir bahwa dalam mengenyam bertujuan untuk mendapat gelar atau sebuah ijazah. Padahal semestinya pendidikan digunakan guna memperbaiki kualitas sebagai manusia dalam menjalani kehidupan. Sekedar datang ke sekolah, melaksanakan ujian, kemudian lulus dengan ijazah di tangan.
Memang benar, pendidikan salah satu jalan untuk mendapatkan gelar yang ‘mungkin’ berguna untuk masa depan. Bisa digunakan untuk memberikan penghidupan bagi diri sendiri, keluarga, bahkan orang disekitar kita. Ataupun dapat dijadikan acuan dalam mengatasi permasalahan ekonomi banyak orang, dengan cara membuka lapangan kerja. Tak ada yang salah dari persepsi itu. Bisa dibilang, memang itulah gunanya pendidikan, untuk memberikan penghidupan yang lebih baik.
Tapi apakah memang benar, Pendidikan semata – mata hanya untuk itu?
Apakah setelah meraih nilai, mendapat ijazah dan berhasil meraih gelar lalu pendidikan selesai sampai disana?
Seorang filsuf dari Amerika Serikat, Prof. Dr. John Dewey, pendidikan tidak lain adalah hidup itu sendiri, dan hidup ini bukan hanya perkara hidup personal tapi secara luas menyangkut kehidupan masyarakat itu juga. Sedangkan menurut An-Nahlawi pendidikan ialah segala usaha dalam mengurus, mengatur dan memperbaiki segala sesuatu atau potensi yang sudah dimiliki. Hal itu berlaku dari lahir agar tumbuh dan berkembang hingga dewasa. Dari sana kita bisa meruntut kesimpulan, bahwa pendidikan sejatinya adalah proses manusia dari lahir hingga akhir hayatnya untuk terus bertumbuh dari pengalaman dan mengasah segala macam potensi dari dalam diri.
Pendidikan yang sejatinya adalah proses untuk memanusiakan manusia, kini sering dinodai dengan keserakahan dan keegoisan manusia untuk menjadikan pendidikan sebagai alat pemuas bagi manusia itu sendiri. Seperti, Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang sejatinya adalah sesuatu yang difahamkan menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan, justru sering kali menjadi percontohan dibeberapa tempat yang mengaku sebagai institusi pendidikan.
Penambahan gelar sekolah atau kampus unggulan dan favorit mungkin menjadi kebanggaan, akan tetapi hal tersebut memancing tindak-tanduk lain yang mengakibatkan KKN sulit untuk dihindarkan. Itu pula yang terjadi di negeri ini, sering kali hal tersebut dianggap remeh padahal itu bisa menjadi awal dari masalah baru selain KKN, yaitu kesenjangan. Sila kelima dalam Pancasila hanya menjadi kalimat semu belaka ketika sebuah tempat pendidikan itu lebih mementingkan nama besar ketimbang tempat mendidik.
Pendidikan pun tercoreng namanya menjadi suatu hal yang hanya digunakan untuk menghasilkan uang dan kehormatan semata. Sehingga, beberapa cara dilakukan Terlepas dari kita benar-benar mendapat pemahaman dan ilmu baru atau tidak, demi sebuah angka dan bubuhan gelar dibelakang nama membuat segala cara dilakukan. Tak peduli menghabiskan dana, tenaga bahkan harga diri semua itu bisa dilakukan.
Permasalahan ini ada dalam pendidikan, dan hanya bisa diselesaikan oleh pendidikan itu sendiri. Dimana arti sejati dari pendidikan harus kembali diingatkan dan benar–benar diterapkan. Harus ditanamkan pemikiran bahwa segala macam pemahaman yang kita dapat melalui pendidikan tidak sebatas angka atau gelar. Pun harus ditegaskan, bahwa Sekolah bukan satu-satunya tempat pendidikan itu berlangsung. Lingkungan adalah tempat terjadinya pendidikan yang paling luas dan besar, paling berpengaruh.
Agar tak terjadi penyelewengan pendidikan kembali, haruslah ada kesadaran bersama untuk menjaga ruang lingkup pendidikan yang sehat dan bersih demi terwujudnya pendidikan yang sejati. Kini, semua orang harus peduli dan menyadari pentingnya pendidikan demi kelangsungan manusia itu sendiri.
Ditulis oleh Verticallya Yuri/SM