Ilustrasi Rektor Asing. (Ifsani Ehsan Fahrez/SM)
Oleh Raden Muhammad Wisnu
Dilansir dari Kompas.com, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir mengatakan, Presiden Joko Widodo mendukung wacana rekrutmen rektor asing di sejumlah perguruan tinggi negeri. Menurut Nasir, rektor asing diperlukan lantaran dunia kian kompetitif. Hal itu, kata Nasir, juga dilakukan oleh sejumlah negara Asia lainnya seperti China dan Arab Saudi. Ia menilai Indonesia akan terus tertinggal bila tak segera memulai rekrutmen rektor asing.
Tentu saja, terlepas dari masih hangatnya suasana perpolitikan Indonesia pasca Pemilihan Presiden di tahun 2019 ini, permasalahan rektor asing ini menuai kontroversi. Kebanyakan mereka yang tidak setuju akan adanya rektor asing ini karena dikhawatirkan rektor asing ini akan membawa efek negatif seperti merebut lapangan pekerjaan Warga Negara Indonesia itu sendiri, hingga dianggap membawa budaya Barat yang liberal dan sekuler sehingga mempengaruhi generasi penerus bangsa menjadi kebarat-baratan.
Hal ini diperparah dengan pengalaman tidak menyenangkan dari bangsa Indonesia yang hidup lama dalam kolonialisasi Belanda dan Jepang berabad-abad yang lalu sehingga “anti asing”. Mereka histeris berteriak “anti asing” karena pemikirannya masih kolot, takut kembali akan dijajah kembali dan direbut mata pencahariannya alih-alih memikirkan solusi agar mampu bersaing dengan warnga negara asing di era globalisasi dimana dunia kerja tidak lagi terbatas Anda warga negara/etnis mana. Alih-alih hal tersebut, sekarang kemampuan dan attitude seseorang dalam bekerja jauh lebih bernilai dari sekedar identitas sosial Anda.
Jika kita melihat sisi positifnya, menurut saya, keberadaan rektor asing barangkali akan mengubah lingkungan sekitarnya, lho! Dan jika suatu saat nanti, almamater saya, Univeristas Islam Bandung dipimpin oleh rektor asing, saya akan dengan senang menyetujuinya!
Sebagai seorang (mantan) atlet karate, saya pernah beberapa kali dilatih langsung oleh orang Jepang yang didatangkan khusus untuk mengajari kami, para atlet dalam menghadapi kejuaraan yang ada, sekaligus memberikan coaching clinic kepada karateka sabuk hitam dalam teknik perkaratean dan kepelatihan yang ada.
Hasilnya? Luar biasa. Beberapa atlet dan tim pelatih berhasil meraih target juara dalam sejumalah kejuaraan yang ada. Dan yang paling penting, para atlet dan tim pelatih mendapatkan pelajaran dan pengalaman luar biasa dari keberadaan “orang asing” tersebut.
Mulai dari dimaki-maki dengan umpatan kata-kata kasar seolah meneriaki maling yang tertangkap, “Kamu tidak pantas menyandang predikat sabuk hitam!”, hingga berkali-kali ditampar dan dihukum fisik berkali-kali hingga hidung saya bocor dan rahang saya geser karena teknik dan gerakan saya yang dianggap tidak berkualitas.
Jauh sebelum latihan dimulai, beliau, “orang asing” tersebut bahkan sempat merapikan sepatu para atlet muda yang cenderung sembarangan sampai saya mengira beliau adalah petugas kebersihan gedung tersebut karena wajah beliau cenderung mirip dengan orang Indonesia. Dan tentu saja, setelah latihan selesai, beliau mencontohkan untuk merapikan sekaligus menyapu dan mengepel tempat latihan meskipun ada petugas kebersihan disana.
Saya juga berdiskusi dengan beberapa teman saya yang berkuliah di Thailand, dia bercerita bahwa rektornya sendiri berasal dari India, dan tenaga pengajarnya ada yang berasal dari Jerman, Jepang, dan negara lainnya. Alasannya? Tenaga kerja asing tersebut berkompeten di bidangnya masing-masing, belum ada warga negara Thailand sana yang berkompeten pada bidangnya dan diharapkan tenaga kerja asing tersebut dapat membawa perubahan pada lingkungannya.
Contohnya, orang Jepang yang sangat disiplin diharapkan dapat menanamkan “the spirit of budo and bushido” Jepang kepada orang Indonesia yang dinilai tidak disiplin seperti tidak pernah tepat waktu saat janjian dan suka melanggar aturan lalu lintas. Tentu saja, diharapkan produktivitas manusia Indonesia kelak akan meningkat dengan ditanamkannya “the spirit of budo and bushido” tersebut.
Rektor asing tersebut, yang sudah berpengalaman bekerja di perusahaan multinasional yang memiliki lingkungan kerja yang disiplin dan menjadi professor selama puluhan tahun tentu saja akan membagikan pengalamannya kepada para bawahannya. Misalnya, mengubah sistem perkuliahan dan kurikulum yang bisa lebih berkualitas, efektif, dan efisiein. Rektor asing juga dapat melihat kampus dari sudut pandang lain. Sudut pandang Warga Negara Asing, alih-alih Warga Negara Indonesia, agar segala aspek pendidikan maupun aspek lainnya di kampus dapat lebih baik lagi.
Perbedaan utama antara universitas di Indonesia dan universitas di negara maju yang saya lihat dan dari diskusi bersama teman-teman saya yang pernah berkuliah di luar negeri adalah nilai-nilai kedisiplinan, tingkat literasi dan juga budaya akademik yang masih jauh, yang pantas untuk ditiru demi kemajuan dunia pendidikan Indonesia.
Bagi orang Indonesia yang pernah kuliah dan bekerja di luar negeri, pasti berpikiran sama seperti saya, dimana orang asing tersebut bisa membawa perubahan positif pada institusi yang dipimpinnya nanti alih-alih orang yang tidak pernah ke luar negeri sama sekali, tidak pernah melihat dunia luar, sehingga selalu memandang negatif tenaga kerja asing yang ada di Indonesia karena merebut mata pencaharian warga lokal.
Lihatlah negara lain, seperti Amerika Serikat, Jepang, hingga Singapura. Berapa banyak tenaga kerja asing, dari pekerja kasar seperti pembantu ruamh tangga tukang cuci piring hingga direktur di perusahaan besar yang bekerja disana? Jumlahnya jauh lebih banyak daripada tenaga kerja asing yang ada di Indonesia, yang selalu diributkan tersebut. Dan tentu saja, alih-alih protes melulu, warga lokal sana termotivasi untuk meningkatkan kualitas dirinya agar tidak kalah bersaing dari mereka, warga negara asing!
Menutup tulisan ini saya akan mengutip perkataan Deng Xiaoping yang pernah berkata, “Tidak peduli kucing hitam atau kucing putih, asal bisa menangkap tikus, ia adalah kucing yang baik“. Tidak peduli rektor asing atau lokal, asal bisa membawa kampus ini menjadi lebih berkualitas, saya pikir tidak ada salahnya.
Penulis adalah konsultan lingkungan hidup. Dapat dihubungi lewat Twitter @wisnu93