Ilustrasi Presiden pertama NKRI, Ir. Soekarno yang sedang berpidato. (Fais Azhar Djohari/SM)
Oleh Novanda Jessa
Pidato yang berjudul To Build The World A New (Membangun Dunia Kembali) dengan durasi sekitar 90 menit itu telah menggemparkan dunia. Pasca Soekarno pidato dengan heroik saat itu, akhirnya hanya ada tiga kata yang tersimpul dari negara-negara tersebut, yaitu Bunuh Soekarno, Matikan Ajarannya, dan Miskinkan Rakyatnya.
Tahun 1965 di hari yang sama (30 September-red), sang Designer melancarkan aksinya dan berhasil merubah makna hari itu menjadi negatif dengan sebutan G 30 S PKI atau Gestapu yang diambil dari nama tentara rahasia Nazi di era Perang Dunia II. Akhirnya bangsa kita hanya tahu bahwa 30 September merupakan hari naas dan tragis yang dialami oleh bangsa Indonesia. Pada malam pergantian hari itu terjadi peristiwa diculiknya enam jenderal yang berbuntut pada pembubaran PKI dan pembantaian jutaan manusia.
Sehingga pidato heroik Soekarno di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka menggelorakan perang asimetris menghadapi pihak-pihak yang membuat kerusakan pada tatanan dunia harus berakhir dan menuai kekalahan pada lima tahun setelah dikumandangkannya pidato tersebut.
Sejak abad 15, bangsa-bangsa barat dengan semboyan Gold, Glory, dan Gospel (3G) telah mengarungi samudra untuk mencari daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Alih-alih ingin berdagang, akhirnya mereka menguasai satu per satu hingga menanamkan suatu sistem atau konsepsi yang membuat ketidak teraturan dunia bahkan sampai dengan hari ini. Dengan konsepsi yang ditanamkan itu, pembentukan negara yang kuat dan perang ekonomi menjadi tujuan akhir untuk penguasaan dunia di bawah satu kendali kaum yang sudah lama terusir dari kampung halamannya.
Sistem yang bernama To Build The New World atau To Build The New Order sudah didengungkan selama berabad-abad yang kelak akan membawa titik nadir kehancuran bagi kehidupan manusia. Pada kesempatan 30 September 1960 itu, Soekarno yang merupakan jebolan perkumpulan Gang Peneleh (Rumah HOS Tjokroaminoto) di Surabaya sudah membaca konstelasi tersebut saat usianya masih relatif muda.
Ketika tampil menjadi pemimpin bangsa Indonesia, Soekarno bersama para tokoh atau pemuka bangsa Indonesia mulai mengeluarkan gagasan untuk melakukan kontra terhadap konsepsi tersebut.
Alhasil, pada tahun 1945, konsepsi yang bernama Pancasila telah dimufakati oleh para pemuka-pemuka bangsa Indonesia dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjelang kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pancasila yang tertuang kemudian di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi dasar terbentuknya negara kesatuan.
Meskipun di dalam negeri, sejak awal kemerdekaan konsepsi tersebut cenderung ditinggalkan bahkan sempat berganti konstitusi pada tahun 1949 dan 1950, namun di kancah internasional tetap dijadikan simbol perlawanan kepada kolonialisme dan imperialisme bagi bangsa- bangsa Asia dan Afrika.
Kepercayaan diri Soekarno semakin meningkat pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang berisikan kembali ke UUD 1945. Dalam kurun waktu setahun setelah dikeluarkannya dekrit, Sidang Umum PBB ke XV di New York tanggal 30 September 1960 segera diselenggarakan.
Akhirnya Soekarno yang didaulat pula sebagai juru bicara dari negara-negara seperti Yugoslavia, Ghana, India, Persatuan Arab, dan Birma menjadi orator di hadapan pimpinan majelis Sidang Umum PBB. Momentum itulah yang dijadikan kesempatan untuk melawan konspirasi negara barat yang telah menguasai dunia dan membawa ketidak teraturan negara-negara di dunia dengan suasana konflik yang diciptakannya.
Konflik yang berkepanjangan dari masa Perang Dunia I, Perang Dunia II, kemudian memasuki era perang dingin, yang sebenarnya hanyalah perang di antara mereka yang memperebutkan lahan ekonomi dan menanamkan pengaruh untuk ikut blok-blok yang bertikai.
Dengan kondisi demikian, pandangan Soekarno untuk menyerukan perdamaian dunia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi tawaran yang dibalut dengan istilah To Build The World A New. Artinya, dengan istilah itu maka ada suatu rumusan bilamana dunia ingin damai maka hanya pancasila yang dapat dijadikan konsepsi bukan konsepsi seperti kolonialisme dan imperialisme beserta turunannya yang sudah usang, serta telah terbukti terus membuat kerusakan di muka bumi selama berabad-abad. Oleh karena itu, pancasila menjadi suatu kebenaran universal yang dapat diterima oleh setiap bangsa.
Hal itu membuktikan bahwa pancasila sebagai Ubiquitous Factor yakni merupakan faktor yang berada di mana-mana. Artinya pancasila merupakan kebenaran yang didasari dari nurani manusia atau social conscience of man. Maka dari naluri alamiah manusia itu sejatinya menuju ke arah lima sila yang dicetuskan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, yang kemudian disempurnakan lagi oleh Panitia 9 dalam Mukadimah UUD 1945. Hal itulah yang kemudian diurai oleh Soekarno dari sila per sila di hadapan delegasi bangsa-bangsa di dunia secara detail dan seksama.
“Sesuatu” itu kami namakan “Panca Sila”. Ya, “Panca Sila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang
tidak mengherankan bahwa paham-paham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama 2000 tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional. Jadi berbicara tentang pancasila di hadapan tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun. (Kutipan Pidato Soekarno di PBB tahun 1960, Departemen Penerangan RI).
To Build The World A New dimaknakan sebagai memebangun dunia kembali. sedangkan To Build a New World, membangun dunia yang baru. Membangun dunia kembali artinya membangun fitrah manusia di dunia yang sebelumnya berperilaku baik dan menjunjung tinggi akan Ketuhanan yang kemudian bergeser oleh arus kolonialisme dan imperialisme. Sehingga moral dan etikanya menjadi rusak, begitu pun dengan kehidupannya.
Ya, sejak NKRI berdiri pada 1945 dengan konsepsinya (Pancasila-red) maka dengan itu pula negara baru ini harus siap berperang dalam bentuk apapun, baik fisik maupun non fisik. Karena mempertahankan ajaran itu perlu dengan peperangangan bahkan pengorbanan yang tidak sedikit. Seperti itulah yang telah digariskan dalam lauhul mahfudz, antara hak dan batil yang selalu berhadapan dalam suatu front hingga berakhirnya dunia.
Tinggal suatu pilihan, bagi Indonesia dan kita semua mau berada di front yang hak atau yang batil? Namun dalam suatu guratan sejarah, founding fathers kita telah tegaskan bahwa perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya untuk bangsa Indonesia saja tetapi suatu perjuangan untuk umat manusia.
Maka dari itu sudah sewajarnya bila Indonesia selalu menjadi incaran dari negara- negara yang kerap membuat kerusakan di muka bumi. Tentunya dengan berbagai cara yang mereka lakukan untuk melemahkan bahkan menghancurkan kita.
Lihat saja dalam beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, Indonesia sudah dibombardir oleh Sekutu, Agresi Militer Belanda I, dan Agresi Militer Belanda II. Setelah itu ganti peperangan asimetris yang digulirkan sejak pembentukan Negara Boneka oleh Van Mook, Perundingan Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang keseluruhannya tertuju pada hancurnya NKRI beserta hancurnya ajarannya, yakni Pancasila dan UUD 1945.
Dengan tegas, kejadian demi kejadian itu harus kita ladeni sampai benar-benar terjadinya kemenangan dari pihak kita. Sukarno pun berhasil membuka keran kemenangan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikumandangkan dan setahun kemudian melalui politik luar negeri bebas aktif, Indonesia menggelegar di Sidang PBB XV dengan konsepsi Pancasila yang ditawarkan kepada dunia.
Praktis negara-negara yang terhimpun pada Old Emerging Forces (Oldefo) atau negara-negara dengan kekuatan dan konsepsi tua dibuat geram serta kebakaran jenggot. Ternyata ada negara yang baru berusia 15 tahun ingin meruntuhkan hegemoninya, namun anehnya bukan usianya yang belia melainkan ajaran yang dibawanya. Negara ini pun dianggap tengah mengetahui sepak terjang suatu kaum yang berada di balik aktor terjadinya kekacauan dunia itu. Pasalnya, isi pidato yang disampaikan dengan penuh semangat dan berapi-api itu menelanjangi habis-habisan sistem atau konsep yang dibangun oleh barat selama berabad-abad serta dampaknya pada keberlangsungan dunia.
30 September 2021 saat ini, kita dapat mengganti istilah Gestapu yang sarat dengan makna negatif menjadi hari digelorakannya perang asimetris di PBB oleh Sukarno dalam rangka To Build The World A New versus To Build a New World. Tanpa dipungkiri, perang asimetris itu masih berjalan hingga hari ini. Saat ini dan ke depan kita semua menanggung amanah untuk melanjutkan perang asimetris yang telah dilancarkan oleh Founding Fathers kita.
Peperangan yang akan menghasilkan antara hilang atau tidaknya pancasila, dan antara hancur atau tidaknya NKRI. Andaikata kita kalah dan hancur itu lebih terhormat ketimbang diam atau balik menggerogoti Pancasila dan NKRI, yang tentunya perbuatan itu sangat hina di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sumber: Letkol Laut (P) Salim. Staf Asops Panglima TNI.
Penulis merupakan alumni Fakultas Teknik Unisba 2015