Foto: Istimewa
Suaramahasiswa.info – Ketika teror terjadi di Paris, 13 November 2015, tak pelak lagi aksi keji itu menebar rasa takut dan kengerian luar biasa bagi warga dunia. Peristiwa yang kerap dikaitkan dengan mitos “Friday the 13th” itu adalah peristiwa yang secara historis menjadi peristiwa global untuk kedua kalinya setelah peristiwa 11 September 2001.
Serangan bersenjata secara simultan di sejumlah lokasi di kota Paris, dua pria bersenjatakan senapan AK-47 melepaskan tembakan membabi buta di depan sebuah restoran. Tiga pelaku bom bunuh diri meledakkan diri di luar stadion sepakbola, serbuan empat pelaku ke tempat konser grup band dan menewaskan tak kurang 80 penontonnya—semua itu, sungguh bukan lagi Hollywood, tapi realitas mengerikan yang benar-benar terjadi secara harfiah di depan mata publik dunia’. Kekerasan yang biasanya kita tonton dan nikmati sebagai fantasi dan imajinasi film-film action Hollywood, sekarang adalah kenyataan kekerasan yang benar-benar kita alami sebagai warga global. Ironis bahwa justru lewat realitas kekerasan yang dahsyat ini, kita merasakan komunikasi sebagai penduduk global.
Belum lagi hilang trauma warga dunia pascateror Paris, aksi serupa terjadi lagi di dua masjid di Selandia Baru, Jumat, 15 Maret 2019. Sudah bisa diduga, aksi biadab ini mengundang amarah dan kecaman warga serta para tokoh dunia. Sampai-sampai, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardem, sebagaimana dikutip (Pikiran Rakyat, 21/3/2019) bersumpah tidak akan pernah menyebut nama pria bersenjata yang melakukan serangan di masjid di Kota Chrischurch. “Dia mencari banyak hal dari tindakan terornya, termasuk agar menjadi terkenal,” kata Ardem. Sebelumnya, Presiden Turki, Tayyip Erdogan pun mengecam keras insiden penembakan tersebut. Ia bahkan menyebut aksi semacam ini membangkitkan islamofobia dan menyerang kaum Muslimin.
Tren islamofobia
Serangan-serangan terorisme mengerikan, sebagaimana yang terjadi di Paris oleh para ekstremis yang mengatasnamakan Islam telah menimbulkan gelombang rasa permusuhan, ketakutan, dan kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam. Gejala yang lazim disebut islamofobia ini boleh dibilang telah menjadi hal normal dalam budaya populer di Amerika dan Eropa.
Harus kita akui, tren islamofobia—kebencian dan penghinaan secara membabi buta terhadap Islam dan peradabannya—meningkat di Barat usai serangan teror di Paris. Aksi-aksi teror yang marak belakangan ini memang membuat keprihatinan banyak pihak, baik masyarakat nasional maupun internasional. Aksi-aksi teror menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat, selain tentu saja juga menurunkan wibawa pemerintah—sebagai institusi yang semestinya memberikan perlindungan dan rasa aman—di tengah-tengah masyarakat. Kita barangkali tak habis pikir kekejian macam apa lagi yang ingin ditunjukkan para pelaku teror ini?
Benar apa yang ditulis Karen Armstrong (2002) dalam Islam: A Short History-nya, tidak ada agama dalam dunia modern ini yang lebih ditakuti dan disalahpahami daripada Islam. Ia menghantui imajinasi orang-orang sebagai keimanan yang ekstrem yang mempromosikan terorisme, pemerintahan otoriter, penindasan terhadap perempuan, dan perang saudara. Sebagai sebuah revisi penting terhadap pandangan sempit mengenai Islam tersebut dan sebagai hasil penajaman pemikiran dan penulisan selama bertahun-tahun tentang subjek dimaksud, Short History, ini menunjukkan bahwa agama dengan pertumbuhan paling cepat di dunia ini adalah sebuah fenomena yang jauh lebih kompleks ketimbang yang mungkin ditunjukkan oleh versi fundamentalis modernnya.
Itu pula sebabnya, untuk memahami “wajah” Islam yang sesungguhnya, bacalah The Future of Islam (Masa Depan Islam) yang ditulis John L. Esposito (2013). Ini adalah buku penting. Bagi para ilmuwan Barat yang—pascateror 11 September 2001—bersimpati dan telah berada di garis depan, upaya untuk menjelaskan Islam di Dunia Barat, segera tersadar tidak hanya akan ketidaktahuan yang meluas ihwal agama Islam, baik di Eropa maupun Amerika Serikat. Namun juga tentang keengganan yang berakar-akar untuk melihat Islam dengan pandangan lebih positif.
Esposito adalah seorang pakar Islam terkemuka dari Amerika. Dalam kajiannya ini, dia mencoba menelusuri jejak pemikiran dan penelitian nyaris sepanjang hidup, guna menghapus stereotip negatif dan memberikan penjabaran yang akurat, kaya nuansa, dan mencerahkan mengenai agama yang paling cepat perkembangannya di dunia ini. Di sini, dia secara kritis mengupas isu-isu utama yang kerap dihadapi Islam pada abad ke-21 dan yang sangat memengaruhi politik global. Misalnya, apakah Islam akan membuat masyarakat Barat kewalahan, mengingat begitu banyak imigran Muslim kini tinggal di sana? Apakah Islam dan Barat terjebak dalam benturan peradaban yang mematikan? Apakah Islam cocok dengan demokrasi dan hak asasi manusia? Tak pelak, pandangan kritis Esposito ini sering menggarisbawahi kesamaan tak terduga antara Dunia Muslim dan Barat serta membalikkan cermin ke arah Dunia Barat di Amerika Serikat. Ia memperlihatkan bagaimana wajah Barat dalam pandangan umat Muslim, yang dalam pemahaman Esposito. Semuanya itu untuk menyoroti pesan penting bahwa tidak ada yang aneh dari agama yang dianut umat Muslim.
Asal-usul teror
Menelusuri asal-usulnya, sesungguhnya teror itu merupakan fenomena yang relatif cukup tua dalam sejarah kehidupan manusia. Mengancam atau menakut-nakuti, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik yang sepertinya sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum aksi atau tindakan itu dinamai “teror” atau “terorisme”. Kata “teror” masuk ke dalam kosakata politis baru pada Revolusi Prancis. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan menjelang Perang Dunia II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada 1930-an yang juga disebut “pemerintahan teror”. Di era Perang Dingin, “teror” dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.
Prancis—atau apa yang kemudian menjadi negara Prancis—menempati posisi dalam dunia Celtik, dalam kekaisaran Romawi, dalam dunia Nasrani, dalam Eropa masa Renaisans dan humanisme, ketika Prancis dihadapkan kepada dunia lain yang baru saja ditemukannya. Kemudian Prancis pun tersebar ke seluruh Eropa dan dunia, baik berkat upaya warganya maupun gagasan-gagasannya, berkat peranannya dalam penemuan-penemuan besar bagi peradaban manusia, berkat penyebaran bahasa dan kesusastraannya pada periode Klasik, berkat penyebaran gagasan-gagasannya pada masa pencerahan, berkat tanggapan masyarakat dunia terhadap Revolusi Prancis dan ketiga prinsip utamanya tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, juga berkat luasnya wilayah kolonisasi. Saat itu, yang menunjukkan aspek menyedihkan dan menyenangkan, dan berkat pengaruh para ilmuwan, penulis, serta seniman Prancis. Pada masa-masa itu pula Prancis menyambut unsur-unsur luar yang kian bersifat internasional. Itu pula yang kemudian ditandaskan oleh Jacques Le Goff (2000) lewat kata pengantarnya dalam buku Histoire de France, “Tidak ada sejarah nasional yang sebenarnya tanpa keterbukaan kepada pihak luar, kepada yang lain.” Kebenaran ini, kata Le Goff, terbukti pada sejarah Prancis.
Secara umum, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah, pejabat, atau rakyat. Terorisme pada mulanya berarti tindakan kekerasan—disertai dengan sadisme—yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti lawan.
Bagi Habermas, mengaitkan jangkauan terorisme dalam politik dengan perwujudan tujuan-tujuannya menawarkan kemungkinan menarik perbedaan antara setidaknya tiga jenis terorisme yang berbeda: perang gerilya tanpa pandang bulu, perang gerilya paramiliter; dan terorisme global. Yang pertama dicontohkan oleh terorisme Palestina, di mana pembunuhan sering dilakukan oleh pejuang militan yang dalam menyerang tidak mengharapkan dirinya selamat. Model perang gerilya paramiliter cocok untuk gerakan-gerakan kemerdekaan nasional dan secara retrospektif disahkan oleh pembentukan negara yang mereka perjuangkan. Yang ketiga, terorisme global tidak tampak mempunyai tujuan-tujuan yang realistis dari segi politik selain mengeksploitasi kerapuhan sistem yang kompleks. Dalam arti ini, terorisme global mempunyai peluang paling kecil untuk secara retrospektif diakui mengajukan klaim-klaim politik.
Tidak sebagaimana jaringan-jaringan multinasional teroris global, model kegiatan teroris yang pertama maupun yang kedua sama-sama memiliki apa yang oleh Habermas disebut profil “partisan,” yang menambatkan mereka pada lokasi-lokasi spesifik. Sebaliknya, sifat sulit ditangkap dan tanpa-wujud merupakan ciri-ciri baru terorisme global seperti juga potensi destruktifnya yang paling besar. Itu semua, bagi Habermas mempunyai kaitan dengan delegitimasi pemerintahan-pemerintahan demokratis. Risiko reaksi berlebihan pihak Amerika Serikat setelah 11/9, dan setiap bangsa mana pun di bawah ancaman terorisme global, baginya mempunyai implikasi yang paradoksal dan tragis: kendati tidak mengungkapkan tujuan-tujuan politik yang realistis, terorisme global berhasil di dalam tujuan yang bersifat teramat sangat politis, yaitu, meminjam istilah Borradori (2003), delegitimasi otoritas negara.
Namun, apa pun tujuan dan alasan para pelaku teror, aksi terorisme seperti yang terjadi di Paris dan Chrischurch tidak bisa kita tolerir.
“Satu-satunya hal terpenting yang dapat Anda lakukan untuk melawan islamofobia adalah dengan tidak berdiam diri. Keberanian Anda berbicara akan memberanikan orang-orang lain untuk berwelas asih dan bisa menghentikan para penghujat,” begitu tegas Karen Armstrong (2015) dalam pengantarnya untuk buku Islamophobia: Guidebook. Ini berarti, islamofobia (islamophobia; pembenci Islam) mesti kita lawan dengan islamofilia (islamophilia; pencinta Islam). ***
Ditulis oleh Alex Sobur
Penulis adalah Dosen Fakultas IlmuKomunikasi, Universitas Islam Bandung (Unisba)