Massa aksi terlibat bentrok dengan petugas kepolisian di Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro No. 27, Kota Bandung pada Senin (23/9/2019). (Edgina Rizqon/SM)
Suaramahasiswa.info, Unisba – Sejak agenda reformasi pada 1998 lalu, secara serentak mahasiswa kembali menggelar demonstrasi pada 2019. Tak bisa dihindari, demonstrasi pada akhirnya berbuntut pada pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum.
Perlu diketahui, idealnya dalam negara demokrasi, kebebasan berkumpul dan berpendapat seharusnya dihargai. Hal itu termaktub dalam UU. No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan UU. No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Berdasar pada regulasi tersebut, Suara Mahasiswa mengutip rilis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pada 27 Oktober lalu. Rilis tersebut menyebut terdapat 78 peristiwa pelanggaran terhadap demonstrasi. Mereka mencatat terdapat paling minimal 6.148 orang korban; 51 orang meninggal dunia, dan 324 orang merupakan korban yang berkategori anak.
YLBHI mencatat ada 8 aksi yang menyebabkan jatuhnya korban, yaitu; Hari Buruh/ May Day, Pengumuman Pemilu, Papua, Kamisan Dwifungsi, Kartu Ujian, Hari Tani yang dianggap acara LGBT, Peringatan 4 tahun Perdamaian, serta Reformasi Dikorupsi.
Secara garis besar, Suara Mahasiswa merangkum peristiwa yang menimbulkan korban mahasiswa ke dalam dua agenda besar, yaitu aksi Reformasi Dikorupsi dan aksi Aksi di Papua. Dua agenda tersebut telah menyebabkan korban meninggal dunia dan menderita luka berat. YLBHI mencatat sebanyak 27 aksi di Papua menimbulkan pelanggaran. Sedangkan untuk aksi Reformasi Dikorupsi tercatat sebanyak 36 pelanggaran.
Berdasarkan paper yang ditulis oleh LOKATARU (2019) yang berjudul “Hadiah Kayu Untuk Para Demonstran”, tertulis himpunan data penggunaan kekerasan di aksi Reformasi Dikorupsi yang menyebabkan demonstran luka parah dan meninggal dunia. Dihimpun dari berbagai sumber, tercatat bahwa sebanyak 719 orang menjadi korban luka, dan 5 orang meninggal dunia.
Bersumber dari paper yang sama, tercatat korban pertama ialah Bagus Putra Mahendra, ia merupakan siswa SMA kelas XI Jakarta yang dinyatakan meninggal dunia. Berdasarkan pernyataan Plt Kanit Lakalantas Polres Jakarta Utara, Ipda Farmal mengatakan korban tewas karena ditabrak truk bernomor polisi B 9417 QZ yang melintas. Polisi menjelaskan bahwa pihaknya tidak sedang mengejar pelaku.
Selanjutnya ialah La Ode Yusuf Badawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari dinyatakan meninggal dunia. Yusuf terjatuh di depan pintu Dinas Ketenagakerjaan usai diduga tertembak aparat. Usai Yusuf terjatuh, aparat kepolisian yang menggunakan seragam maupun tidak, justru menghampiri dari arah depan dan dari area Dinas Ketenagakerjaan Kendari. Pada saat itu, Almarhum yang sudah terjatuh langsung mendapatkan tindakan kekerasan oleh salah seorang anggota kepolisian dengan menggunakan tongkat.
Kemudian dari universitas yang sama, Immawan Randi juga dinyatakan meninggal dunia karena ditembak di dada kanan. Hal itu membuat lubang luka akibat tembakan dengan ukuran diameter 0,9 cm pada bagian ketiak kiri dan 2,1 cm di dada sebelah kanan.
Selain pelajar dan mahasiswa, ada juga seorang pemuda asal Jakarta, Maulana Suryadi yang menurut Tito Karnavian dalam pemberitaan Tempo.co tewas lantaran sesak nafas akibat gas air mata.
Dalam pemberitaannya pada 5 Oktober lalu, Tempo melihat ada keraguan dari pihak keluarganya. Maspupah, ibu dari korban mengatakan anaknya tidak memiliki riwayat asma dan jenazah anaknya terus mengeluarkan darah dari hidung dan telinganya hingga jenazah disemayamkan. Maspupah mengatakan jika wajah anaknya terlihat bengkak. Begitupun kakak tiri Suryadi Maulana, Bayu menyebutkan jika di sekujur tubuh Maulana terdapat luka lebam seperti usai dianiaya.
Lalu Akbar Alamsyah yang diduga terlibat aksi pada 25 September bersama pelajar lain. Pihak keluarga sempat mencari keberadaan Akbar di keesokan harinya. Menurut keterangan temannya, Akbar ditahan di Polres Jakarta Barat. Di sana keluarganya memang sempat menemukan nama Akbar, tetapi orang tua Akbar dihalangi untuk bertemu. Tak lama berselang orang tua dikabari, Akbar telah berada di RS Pelni dan kemudian dipindah ke RS Polri Kramat Jati. Keluarga menemukan wajah dan mata Akbar lebam. Kepalanya sudah diperban pasca operasi dan tulang kepala patah. Tanggal 30 September Akbar dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto dan 10 hari kemudian dinyatakan meninggal dunia.
Selain korban meninggal dunia, LOKATARU juga mencatat sejumlah korban kekerasan yang mengakibatkan luka berat pada demonstran. Korban pertama ialah Faisal Amir, mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta. Kronologisnya, Faisal sempat hilang dari temannya pada pukul 16:00, Faisal Amir ditemukan di dekat Pulau Dua Restaurant dengan kondisi tak sadarkan diri. Faisal alami luka retak dari jidat kiri sampai kepala belakang bagian kanan, memanjang dan menyilang. Dia juga alami pendarahan di bagian otak dan tulang bahunya patah. Selain itu, di bagian dada dan tangan kanan Faisal juga terlihat memar.
Berikutnya ialah Sugianto A. Hanafi, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Ternate. Ia mengalami luka berat akibat tembakan peluru gas air yang terkena mata kirinya. Hal itu sebabkan mata Sugianto alami pendarahan.
Korban terluka berikutnya ialah Dicky Wahyudi, mahasiswa Universitas Bosowa, Makassar. Dicky Wahyudi ditabrak mobil barracuda milik kepolisian. Akibatnya, Dicky alami memar di muka sebelah kanan dan luka di bagian dada kanannya. Menurut keterangan Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol Mas Guntur Laupe, anggotanya mengaku tidak sengaja menabrak Dicky.
Terkait dengan rentetan korban aksi Reformasi Dikorupsi, LOKATARU dalam paper-nya menjelaskan hingga saat ini belum ditemukan upaya penyelidikan atau bahkan klarifikasi terhadap tindakan yang diambil selama pembubaran demonstrasi di Jakarta, Bandung, dan Makassar yang sebabkan meninggalnya korban.
Pelanggaran di Papua
Selain agenda aksi Reformasi Dikorupsi, Suara Mahasiswa juga mendapati korban mahasiswa dari aksi yang dipicu dari isu rasisme yang berkembang. YLBHI mencatat sebanyak 37 orang dinyatakan meninggal dunia akibar aksi anti-rasisme di Wamena dan Jayapura, tak ada keterangan resmi terhadap penyebab kematiannya.
Pelanggaran dalam aksi di Papua terbagi dalam sejumlah agenda di antaranya aksi Rasisme terhadap Papua yang tersebar di 15 kota di Indonesia, aksi Respon Kriminalisasi Aktivis Papua, aksi di Hari Adat, aksi Mahasiswa Dukungan Untuk Papua, aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), aksi AMP-HAM Papua, dan aksi Tutup Freeport.
Dari sejumlah agenda di atas YLBHI mencatat jika Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan wilayah yang paling sering terjadi pelanggaran. Setidaknya terdapat 18 kasus yang terjadi di sana.
Sedangkan perihal korban di Papua, dalam paper LOKATARU yang berjudul “Buruknya Ruang Sipil di Papua : Melanjutkan Pendekatan Keamanan?”, dikatakan bahwa langkah verifikasi publik dan hak untuk mendapatkan informasi atas kejadian di Papua dan Papua Barat ditutup lantaran adanya pelaksanaan pemblokiran layanan data dan pemutusan jaringan informasi di Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, terkait dengan aksi di Papua, Suara Mahasiswa tidak bisa mendapatkan data korban yang jelas.
Aktor Pelanggaran
Dari data di atas, selanjutnya YLBHI mendapati jika status korban terbesar, yaitu sebanyak 43% merupakan mahasiswa. Di sisi lain, tercatat juga aktor pelanggar terbesar ternyata dilakukan oleh polisi dengan angka sebesar 69%. Namun perlu juga diketahui jika aktor pelanggar terbesar kedua sebesar 8% dilakukan oleh pihak dari institusi pendidikan baik di tingkat perguran tinggi dan sekolah menengah.
Dari 78 kasus mayor yang tercatat oleh YLBHI, setidaknya 67 kali Polisi, baik dari level kepolisian sektor (Polsek), resort (Polres), level daerah (Polda), hingga mabes Polri menjadi aktor pelanggar. Satuan dari internal kepolisian yang melakukan pelanggaran juga tampak beragam, dari satuan Intelkam, Sabhara, Brimob, bahkan Satlantas.
Jenis pelanggarannya pun bervariasi. Upaya kriminalisasi menduduki angka terbesar, yaitu sebanyak 95 kasus. Kriminalisasi dilakukan di antaranya dengan tindakan; penangkapan serta salah tangkap, penahanan, serta upaya penal (penetapan tersangka, dst).
Sedangkan upaya lainnya yang terbesar dilakukan dengan tindakan kekerasan sebesar 68 kasus. Tindakan kekerasan yang dilakukan yaitu; Pengancaman atau intimidasi, dikeluarkan dari sekolah atau institusi, tidak mendapatkan SKCK, diskriminasi, stereotipe atau rasisme. Tindakan kekerasan fisik dilakukan dengan penganiayaan, penyiksaan, tindakan yang merendahkan martabat hingga penggunaan peluru tajam.
Reporter: Fadil Muhammad
Penulis: Fadil Muhammad
Editor: Febrian Hafizh Muchtamar