Ipah dan Jalu meminta pertolongan kepada orang-orang namun tidak ada yang menolong, dalam acara resital Stuba angkatan 27, bertempat di Gd. H. Kartimi Kridhoharsodjo Aula Utama Unisba Jalan Tamansari No. 1 Bandung, Kamis (23/03/2017). Perjalanan hidup Jalu dan Ipeh tak seindah mimpi yang diharapkan, kemiskinan membuat mereka tak berdaya.
Suaramahasiswa.info, Unisba – Kamis (23/03) sore Aula Utama Unisba terlihat gelap, hanya lampu-lampu yang seperlunya bercahaya. Memasuki ruangan tersebut saya duduk menunggu dimulainya resital pelajar Studi Teater Unisba (Stuba) angkatan 27. Acara rangkaian dari diklat kedua ini diperankan oleh sembilan orang pelajar Stuba yang dibantu oleh Pasuma dan LSBS.
Pukul empat sore pagelaran yang berjudul Bulan dan Kerupuk ini dimulai. Di awali dengan adegan seorang janin bayi, kemudian muncul sejumlah ibu hamil dari sisi kanan dan kiri saya mengelilinginya. Terlihat seorang bayi yang sedang meliuk-liuk di dalam rahim ibu. Nyanyian pun bersenandung lalu bayi itu berceloteh berharap dilahirkan di lingkungan keluarga yang kaya. Namun siapa yang duga seorang bayi akan dilahirkan oleh ibu dan keluarga yang mana. “Jika aku boleh memilih, aku akan memilih perempuan yang di ujung sana karena dia terlihat bahagia, orang bahagia itu pasti kaya,” teriaknya sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah adegan tersebut, berlanjut pada sebuah kisah seorang suami istri yang bernama Jalu dan Ipah yang kehidupannya tak seindah mimpi mereka. Sosok Jalu ini digambarkan sebagai seorang pemalas yang mempunyai sejuta mimpi atas kehidupannya. Sedangkan Ipah, seorang istri yang sedang hamil muda serta cerewet, meski begitu Ipah tidak pantang menyerah terhadap hidupnya.
Percakapan di halaman belakang rumah mengenai keirian mereka terhadap keluarga yang bergelimang harta pun terus diucapkan keduanya. Hujan deras pun menguyur desa Ipah, memporak-porandakan rumahnya dan hanya menyisakan impian belaka. Bingung akan tinggal di mana, pulang kerumah orang tua pun tidak mungkin membuat Ipah dan Jalu bernostalgia awal kisah percintaan mereka. “Coba dulu aku mau dijodohkan dengan Untung,” sesal Ipah.
Perjalanan hidup mereka semakin hari semakin miris, ingin meminta tolong kesiapa mereka kebingungan.”Pa RT, Pa RW, Pa Lurah, Pa Camat, Pa Gubernur tolong kami, penonton tolong kami!” Namun seorang penoton pun enggan membantu karena mereka miskin. Ipah dan Jalu pun akhirnya meminta tolong kepada Tuhan sebab kemiskinan bukan pilihan mereka untuk hidup. Tidak ada yang mau hidup miskin.
Perut Ipah semakin membesar dan terlahirlah seorang bayi. Keadaan yang tidak memungkinkan, membuat mereka tidak sanggup untuk membesarkan anak tersebut. Keputusan pun diambil dengan menghanyutkan bayinya ke sungai, agar Tuhan yang menentukan hidup bayi itu. Hingga akhinya mereka tergeletak tak berdaya untuk apapun.
Dibalik tajuk pagelaran tersebut sang sutradara Ahmad A. Rozaq mengungkapkan makna dibalik resital ini. “Kehidupan itu diibartkan kerupuk adalah kenyataanya dan keinginan itu seperti bulan. Sama-sama bulat dan putih, namun beda.”
Selesainya resital ini, salah satu penonton Della Sulilawati mengungkapan pergelatan Stuba tahun ini mengangkat ceita yang dapat menyadarkan masyarakat. Menurutnya cerita tersebut mengajarkan seseorang bahwa hidup itu benar-benar perjuang di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. “Keren banget dari pemainnya,” tutupnya. (Amelia/SM)