Foto Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba), Dian Alan Setiawan Saat Diwawancarai di Ruangannya Pada Jum’at, (03/02). Ia berpendapat tentang pengungkapan kasus peretasan yang belum maksimal dalam UU ITE. (Foto: Nabil Fadilah/Job)
Suaramahasiswa.info, Unisba- Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi pada tahun 2000-an, kejahatan siber pun menjadi semakin marak. Sebenarnya, jenis kejahatan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dosen Hukum Pidana Universitas Islam Bandung (Unisba), Dian Alan Setiawan menilai UU tersebut belum efektif jika dilihat dari tindak pencegahan dan perlindungan korban. “Bisa dilihat dari beberapa tahun kebelakang penindakan hukumnya sudah tepat tetapi pencegahannya terhadap kejahatan siber masih kurang,” ujar Alan saat diwawancarai melalui dalam jaringan (daring) pada Selasa, (31/01).
Selaras dengan hal tersebut, dalam jurnal yang berjudul Efektifitas Hukum Terhadap Tindak Pidana Siber Oleh Unit Cybercrime Di Polresta Banyumas karya Leon Caesar, Angkasa, dan Dwi Hapsari Retna Ningrum menyatakan bahwa UU ITE belum efektif karena minimnya fasilitas, sarana, serta kemampuan. Belum lagi, tidak adanya unit khusus yang menangani kasus kejahatan siber.
Dalam penanganan kasus kejahatan siber sebelum adanya UU ITE, Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun seiring berjalannya waktu, UU ITE lebih sering digunakan karena memiliki muatan dan kandungan yang lengkap untuk memberikan sanksi hukum terhadap kejahatan siber.
Salah satu kejahatan siber yang terjadi beberapa tahun kebelakang yaitu kasus peretasan. Kasus ini banyak dialami oleh pemerintah dan instansi pendidikan. Seperti yang terjadi pada sejumlah situs Universitas Islam bandung (Unisba) yaitu situs web bpm.unisba.ac.id dan simas.unisba.ac.id yang kedapatan sempat disusupi oleh situs judi online.
Dalam hal ini menurutnya, Unisba dapat mengajukan pengaduan peretasan terhadap pelaku menggunakan pasal 30 sampai 32 UU ITE, tergantung perbuatan si pelaku. Kasus peretasan Unisba memenuhi kriteria dalam pasal yaitu melakukan intersepsi atau penyadapan, mengambil, mengubah, dan merusak sistem milik orang lain dengan cara apapun. Namun, proses penyidikan dikembalikan lagi kepada penegak hukum untuk menjerat si pelaku.
Angka kasus peretasan yang ada dengan pelaporan yang dilakukan pun tidak seimbang. Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) mengungkapkan kasus peretasan mengalami penurunan pada tahun 2020 yaitu hanya 18 kasus yang dilaporkan. Laporan tersebut menurun 87,8% dari 2019 yang mencapai 148 aduan menjadi terendah sejak 2017.
Penurunan tersebut menurutnya terjadi karena pengungkapan kasusnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar serta penyidik kepolisian harus mempunyai pemahaman lebih di bidang hukum. Disamping itu, dihadapkan dengan ketidakmampuan masyarakat terhadap mekanisme cara melapor.
Alan pun menjelaskan cara melaporkan sebuah kasus kejahatan peretasan dapat melalui kepolisian secara langsung dan dengan mengunjungi situs web www.patrolisiber.id. “Agar kasus peretasan yang dilaporkan bisa sampai penyelidikan, maka barang bukti yang didapat harus valid karena akan sulit apabila tidak memiliki bukti yang kuat,” jelas Alan.
Menanggapi upaya pelaporan kasus peretasan yang mengalami penurunan, Alan menyatakan bahwa agar UU ITE dapat dimaksimalkan oleh masyarakat Indonesia yaitu dengan cara semua komponen harus bekerja serta aparat penegak hukum harus mampu membuat keputusan yang adil. Dibandingkan dengan negara malaysia yang sudah lama membuat UU, Indonesia masih tertinggal karena kurangnya sumber daya manusia yang memadai.
Reporter: Nabil Fadilah/Job
Penulis: Nabil Fadilah/Job
Editor: Syifa Khoirunnisa/SM