Sesi Tanya jawab dari film Aroma Of Heven yang diputar di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI, Bandung pada Selasa (22/9) lalu. Tiga orang ini adalah Widaryanto (Budayawan), Budi Kurniawan (Sutradara), Frans Ariprasetyo (Peneliti) dan Taufik Darwis (moderator) –dari kiri ke kanan. Mereka berempat mengisi sesi diskusi dari film tersebut, terkait konten juga teknis, dan melahap setidaknya enam pertnyaan dari penanya. (Muhammad R. Iskandar/SM)
Suaramahasiswa.info, Bandung – “Kita Ingin memperlihatkan dari satu biji kopi, bisa melahirkan berjuta keberagaman budaya, tradisi, agama, hingga politik,” begitulah ucap Iwan Setiawan dari Pers Daunjati sebagai penyelenggara, saat memulai nobar ‘Aroma of Heaven’ di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI, Bandung pada Selasa (22/9) lalu.
Sebelum lekaki gondrong berkaos merah itu maju, tepat pukul 13.00 sejumlah penggiat kopi, pewarta, hingga hipster dari biji yang satu ini memenuhi pelataran gedung kesenian. Minuman dan camilan jadi andalan untuk memanjakan calon penonton yang mulai menanyakan “kapan nih dimulainya?” Tepat di pukul 13.30, pintu utama dibuka, sontak semua yang tadi menunggu-nunggu sibuk memilih kursi terbaik untuk menyaksikan film yang juga pernah memenangi Ahfav Film Festival di Iran, tahun 2015 lalu, sebagai nominasi Best Editing.
Setelah diputar trailer film tersebut, sepasang MC memasuki area depan screen, walau nampak malu-malu, mereka menerangkan aturan dan agenda dari acara yang akan di hajar hingga sore menjelang. Gugur Gunung, jadi tembang pembuka saat film mulai dimainkan, dan selama 65 menit penonton dibuat terkesima dengan montase ciamik dari sutradara Budi Kurniawan.
Aroma of Heaven, sejatinya kali pertama diputarkan di bumi priangan, sejak rilis di awal Juni 2014 lalu. Film yang dikerjakan secara independen ini, digagas Budi Kurniawan karena ia merasa perlu untuk membuat suatu literatur tentang biji kopi di Indonesia, mengingat kopi tak hanya diminum dan selesai. Tiga tahun riset pun di jalaninya, lanjut dengan dua tahun mengangkat kamera dan terbang ke tempat-tempat awal mula si biji kopi mendarat di bumi pertiwi.
Film yang juga pernah memenagi Best Documentary di Hainan Film Festival, Tiongkok ini kurang lebih menceritakan tentang 300 tahun sejarah kopi di Indonesia. Tak hanya itu, Aroma of Heaven pun menceritakan bagaimana kopi ini memperngaruhi peradaban Indonesia (dibeberapa tempat) terkait tradisi, budaya, seni, iman, bahkan keyakinan adat. Di lain montase, penggambaran masyarakat yang makan dan hidupnya dari si biji ini pun, divisualkan secara paripurna, dari masyarakat Gayo, Aceh hingga Indonesia bagian Timur seperti Flores dengan Kopi Manggarainya.
Tepuk tangan penonton, mengakhiri sesi nobar. Dan dimualilah diskusi dengan sang sutradara, didampingi Widaryanto (budayawan) serta Frans Ariprasetyo (peneliti mandiri). Sebagai permulaan Budi menceritakan hal teknis hingga konten yang mereka kerjakan selama lima tahun. Dilanjut Frans yang menyanjung film ini adalah jawaban dari pertanyaan Jakob Oetama, “ kapan wajah kita sebagai Indonesia dapat tergambarkan di sinema kita sendiri?” Selanjutnya, ia menceritakan tentang budaya urban hari ini terkait kopi yang jadi komoditas gaya hidup dan realitas kesejahteraan para petani kahwa (kopi) diberbagai titik bumi pertiwi.
Widaryanto yang notabene adalah tenaga pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan Program Studi Tari ini menyatakan, Aroma oh Heaven adalah sebuah autokritik yang luar biasa. Mengingat betapa dekatnya kopi dengan masyarakat Indonesia secara umum. Sebuah tamparan bagi para penikmat kopi, karena hari ini, petaninya belumlah sejahtera, bahkan terkadang identitas kopi itu tidak dibawa saat si biji masuk kedalam pasar, sehingga tiada kesejahteraan bagi tempatnya bermula.
Sesi ini pun berlalu, dan penanya mulai mengangkat tangannya satu persatu. Dari 6 orang penanya, salah seorang menyanjung; bagaimana film ini bisa seperti halnya buku, terkandung banyak bab yang terasa sistematis. Budi pun menjawabnya, ia menyebut filmnya adalah dongeng visual, “Aroma of Heaven ini adalah mukadimah (pembuka), kedepannya masih ada bab 1, bab 2, 3, 4 dan seterusnya, yang menceritakan tiap daerah secara spesifik.”
Keseruan tanya-jawab berlangsung hingga tidak terasa sebagian penonton memilih angkat kaki satu per satu. Jam yang menunjukan 16.15 membuat sang moderator Taufik Darwis bertanya apada panitia. Iwan sebagai kepala pun menjawab, “harusnya sudah beres dari setengah jam yang lalu,” sisa penonton yang bertahan pun, tertawa dibuatnya. (Muhammad R. Iskandar/SM)