
Ilustrasi nikah muda. (Fadhis/SM)
Oleh : M. Roby Iskandar
“Masa iya, calon imam tidak bisa ngaji? Kamu semester 7 kan? Bentar lagi lulus, langsung nikah!”
Setelah tiga tahun lalu saya pernah terlibat twitwar dengan akun anonim yang mewakili nama kampus swasta di Bandung, kini pernyataan ini kembali terulang. Bukan, bukan masalah bisa atau tidak bisanya saya dalam urusan baca tulis al-Quran. Tapi tentang begitu sempitnya pikiran kita.
Sempit yang saya maksud adalah, mengapa setelah lulus harus langsung mengaitkan dengan pernikahan? Sebagian orang malah melafalkan dengan diksi “kawin”. Kalau untuk kawin, saya selalu yakin itu bisa dilakukan kapan saja -tentu dengan segudang syarat. Tapi menikah? Ayolah bung! Haruskah di usia 20an seperti ini sudah menanggung komitmen yang bukan main.
Mari kita sambung, bagi para sarjana, tanggungan bukan hanya perut sendiri. Masih ada perut-perut bahkan jiwa-jiwa insan lain yang mesti merasakan sumbangan ilmu selama dihajar bangku kuliah, bukan? Saya sendiri terlalu percaya, komitmen berkeluarga akan sangat memberatkan, di mana ada lebih dari dua perangkat pencernaan yang menuntut minta diisi nutrisi bukan air beras atau nasi sisa kemarin. Belum lagi, lebih dari dua perangkat otak dan jiwa yang meminta dinafkahi.
Negara kita pun punya aturan main dengan kata “Menikah”. Sebuah Undang-undang tahun 1974, menjadi acuan dalam menyelenggarakan pernikahan. UU nomor 1 tahun 1974 ini, mengatur pula standar minimal usia menikah yang amat rendah, terutama bagi perempuan, yakni 16 tahun. Ya, tidak salah rasanya Indonesia sempat menduduki peringkat ke-37 teratas, negara dengan jumlah pernikahan tertinggi.
Usaha untuk menaikkan standar minimal usia perkawinan pun pernah di usahakan pada 2015. Namun, ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Arief Hidayat menyatakan pihaknya tidak dapat menaikkan standar tersebut. Ia lebih menyarankan untuk merevisi UU perkawinan via legislative review.
Kita sama-sama tahu bagaimana dampak kesehatan, psikologis, bahkan ekonomi dari pernikahan dini. Memang momok benar urusan ini, sampai-sampai pernah jadi sebuah TV series yang diperankan Agnes Monica. Namun, nampaknya opera sabun itu malah me-influence muda-mudi tetap kawin muda.
“Eh habis aku lulus, langsung lamar aku ya ay.” Mungkin begitu mayoritas kalimat yang digunakan remaja tanggung dalam merencanakan hidupnya.
Ranah hukum memang perlu untuk mengatur hal ini, namun yang lebih kritis adalah mentalitas. Dengan doktrinisasi “lulus:nikah” yang dilakukan banyak oknum, tentu berimbas gol remaja-remaja kekinian.
Sementara Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal, menggembar gemborkan perlunya penundaan usia perkawinan. Sebagian oknum masih saja secara sadar atau tidak, meng-utopi indahnya pernikahan.
*Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unisba 2012
**naskah ini dibuat bukan sebagai dalih penulis tak pandai baca tulis al-Quran, juga bukan karena penulis ditinggal kawin. Sebelumnya pernah diterbitkan anjzine.com